Ivermectin Diuji kepada 5.000 Relawan, seperti Apa Kontroversinya Akan Berakhir?

Reporter

Terjemahan

Sabtu, 3 Juli 2021 03:44 WIB

Ivermectin. Kredit: Brazilian Report

TEMPO.CO, Jakarta - University of Oxford, Inggris, mengumumkan pada Rabu, 23 Juli 2021, lalu kalau sedang meneliti obat antiparasit ivermectin untuk potensinya mengobati Covid-19. Ini adalah sebuah uji yang diharapkan bisa menjawab kontroversi dari pengobatan yang telah luas direkomendasikan di dunia meski ada peringatan dari banyak otoritas kesehatan dan kurangnya data yang mendukung keamanan penggunaannya.

Ivermectin atau yang biasa dikenal obat cacing ini akan menjadi bagian dari studi Principle (Platform Randomised Trial of Treatments in the Community for Epidemic and Pandemic Illnesses) yang disponsori pemerintah Inggris. Studi ini mengkaji pengobatan non-rumah sakit melawan Covid-19 dan juga sebuah uji acak skala besar yang dipandang sebagai 'standar tertinggi' dalam mengevaluasi efektivitas sebuah obat.

"Sangat mirip dengan hydroxychloroquine sebelumnya, sudah lebih dulu ada penggunaan yang tidak sesuai label dalam jumlah yang sangat besar," kata Stephen Griffin, seorang associate professor di University of Leeds.

Dia menunjuk penggunaan itu terutama berbasis studi-studi uji tanding obat itu yang mampu menghambat replikasi virus corona Covid-19 di laboratorium menggunakan data keselamatan dari penggunaan luas obat itu sebagai antiparasit. Studi yang dilakukan peneliti di Australia pada Maret 2020 itu dinilai Griffin tak mewakili kondisi sebenarnya dalam sel tubuh di mana kadar alami dosis obat itu jauh lebih rendah.

"Bahayanya dari penggunaan obat yang tak sesuai label seperti ini adalah...obat itu menjadi alat kepentingan kelompok tertentu atau pendukung pengobatan nonkonvensional dan menjadi dipolitisasi," kata Griffin.

Advertising
Advertising

Meski begitu sejumlah studi yang sifatnya pilot dan berskala kecil menunjukkan hasil awal bahwa ivermectin mampu mengurangi jumlah virus dan durasi gejala pada beberapa pasien Covid-19 gejala ringan. Namun, masih sedikit bukti yang didapat dari uji yang secara luas dan acak kalau obat yang sama bisa mempercepat pemulihan atau mengurangi angka kasus rawat inap rumah sakit.

Studi Principle diharapkan bisa membantu memberi kepastian akan efektivitas sekaligus keselamatan penggunaan 'obat ajaib' ini untuk Covid-19. "Caranya dengan membangkitkan bukti-bukti yang kuat," kata Chris Butler, profesor di Department of Primary Care Health Sciences, University of Oxford, yang juga satu di antara peneliti utama dalam studi Principle.

Uji melibatkan lebih dari 5.000 relawan di Inggris, usia dewasa atau lebih dari 18 tahun. Kepada mereka akan dibagi secara acak siapa yang mendapat tambahan pengobatan oral ivermectin selama tiga hari dan siapa yang pengobatan standar. Uji akan berlangsung sebulan sebelum kedua kelompok akan saling diperbandingkan.

"Mereka yang berusia 18 sampai 64 tahun dengan gejala atau sesak napas karena Covid-19 bisa gabung dalam uji asalkan masih dalam 14 hari sejak merasakan gejala itu atau menerima hasil tes yang positif," kata Butler.

Petugas instalasi farmasi memeriksa vaksin COVID-19 yang disimpan disela kegiatan peninjauan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito, di UPT Instalasi Farmasi Badung, Bali, Kamis 4 Maret 2021. Peninjauan tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya BPOM untuk memastikan proses pengelolaan vaksin COVID-19 khususnya dalam proses distribusi dan penyimpanan berjalan dengan baik dan sesuai standar. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Ivermectin selama ini dikenal memiliki profil keselamatan yang baik dan luas digunakan di dunia untuk beragam penyakit infeksi, di antaranya menyembuhkan infeksi parasit Onchocerciasis (river blindness). Penyakit yang bisa menyebabkan kebutaan ini disebabkan infeksi jenis cacing gelang yang ditularkan lewat gigitan berulang lalat hitam.

Ivermectin sejatinya tidak mahal karena generik. Obat ini juga telah tersedia selama puluhan tahun dengan penggunaan awal adalah untuk infeksi cacing parasit pada hewan ternak. Untuk Covid-19, penggunaannya terpantau terutama di Amerika Latin, Afrika Selatan, Filipina, India, dan beberapa negara di Eropa. Mereka menerabas peringatan dari otoritas kesehatan seperti WHO, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), dan Badan Obat-obatan Eropa (EMA) agar tidak menggunakan obat ini di luar uji klinis.

Dalam Studi Principle, ivermectin adalah obat ketujuh yang diinvestigasi. Sebelum ini adalah investigasi terhadap antibiotik azithromycind dan doxycycline yang kesimpulannya telah diumumkan pada Januari lalu kalau secara umum keduanya tidak efektif. Juga investigasi terhadap satu obat jenis steroid hirup, budesonide, yang pada April lalu ditemukan efektif dalam memangkas masa pemulihan dari infeksi Covid-19.

FORBES | POLITICO | OXFORD

Baca juga:
Kata WHO Soal Ivermectin dan Obat Covid-19, Simak Daftar Rekomendasi Terkini

Berita terkait

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

2 jam lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: India Tak Terima Tuduhan Xenofobia Biden Hingga Gencatan Senjata Gaza

14 jam lalu

Top 3 Dunia: India Tak Terima Tuduhan Xenofobia Biden Hingga Gencatan Senjata Gaza

Berita Top 3 Dunia pada Sabtu 4 Mei 2024 diawali penolakan India soal tudingan xenofobia oleh Presiden AS Joe Biden

Baca Selengkapnya

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

1 hari lalu

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

Pejabat senior Hamas mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya menggagalkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Baca Selengkapnya

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

1 hari lalu

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

WHO mengatakan tidak ada rencana darurat yang dapat mencegah "tambahan angka kematian" di Rafah jika Israel menjalankan operasi militernya di sana.

Baca Selengkapnya

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

1 hari lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

2 hari lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

2 hari lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

2 hari lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

3 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

3 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya