Bukan Monster Laut Apalagi Putri Duyung, Begini Milky Sea Terbentuk di Samudera

Kamis, 9 September 2021 21:30 WIB

Fenomena milky sea seluas sekitar 100 ribu kilometer persegi di Samudera Hindia dekat Pulau Jawa yang terdeteksi dari satelit. Doi.org

TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian atas fenomena milky sea berhasil mendeteksi satu lokasi penampakannya yang paling sering di lautan dunia, yang ternyata sangat dekat dari Indonesia. Pernah hidup sebagai legenda di antara para pelaut selama berabad-abad, fenomena yang tampak seperti tumpahan cairan susu lewat kilau putih pucat yang seragam, tetap dan meluas itu teryata kerap muncul di Samudera Hindia di selatan Pulau Jawa.

Penelitian terbaru tersebut memburu fenomena yang pernah dipercayai sebagai tanda kehadiran monster laut ataupun putri duyung itu dari luar angkasa secara hampir real time. Menggunakan dua satelit cuaca NOAA—Suomi National Polar-orbitting Partnership (NPP) dan Joint Polar Satellite System—para peneliti telah mengembangkan kemampuan identifikasi cepat kejadian-kejadian milky sea, membuka jalan untuk studi bisa dilakukan di lokasi sebelum fenomena berlalu.

Selama ini, dari laporan-laporan yang ada, milky sea dideskripsikan dengan berlayar melaluinya seperti sedang menyeberangi padang salju atau puncak awan. Kemilau putihnya begitu pucat sehingga sinar Bulan pun mampu menutupinya dari penglihatan mata manusia. Itu sebabnya kejadiannya dikenal langka sehingga belum pernah ada studi yang pernah dilakukan padanya.

Sebelum metode pencarian menggunakan satelit, ilmuwan sebelumnya bisa mengalami kesempatan studi itu sekali ketika Kapal R/V Lima melaporkan telah melintasi perairan yang bersinar di Laut Arab pada 1985. Sampel air dari kapal itu mengidentifikasi adanya alga yang diselimuti bakteri Vibrio harveyi yang bisa memancarkan cahaya (bioluminescence). Dari sampel itu, ilmuwan menduga fenomena milky sea terkait dengan sekumpulan besar material organik.

Bakteri V. harveyi, begitu populasinya tumbuh cukup massif, akan mengaktifkan sifat luminesens mereka melalui proses yang disebut quorum sensing. Setiap individu bakteri menebar perairannya dengan sekresi kimiawi yang mendorong proses biokimia (autoinducer) yang ketika emisinya itu mencapai kerapatan tertentu, cahaya akan muncul.

Advertising
Advertising

“Anda tahu ketika Anda melihat cahaya ini, berarti ada populasi bakteri luminesens yang sangat besar di sana,” kata profesor emeritus di University of Southern California, Amerika Serikat, Kenneth Nealson—bukan bagian dari tim penelitian yang terbaru.

Nealson bersama rekannya sesama ilmuwan Woody Hastings pernah mengidentifikasi fenomena milky sea pada 1960-an. Dia memperkirakan butuh sekitar 10 juta bakteri per mililiter air untuk memicu perairan menjadi bercahaya.

Berhimpunnya begitu besar jumlah bakteri di satu bagian dari lautan, Nealson menambahkan, tentu butuh keberadaan sumber makanan yang berlimpah. Dugaan para ilmuwan adalah koloni bakteri-bakteri itu berpesta dengan sisa-sisa ledakan alga yang juga massif.

“Jika Anda memberi makanan yang tepat, mereka akan berkembang biak berlipat ganda setiap setengah jam,” kata Nealson. “Tidak sampai sehari jumlah mereka sudah akan melebihi 10 juta per mililiter.”

Tidak seperti saat ledakan alga yang mendorong fenomena seperti air pasang merah, yang membuat ikan-ikan menyingkir, fenomena milky sea justru berperan menarik ikan-ikan datang. Ikan makan bakteri, juga alga yang sudah mati, dan konsumsi itu tidak mengakhiri siklus hidup si bakteri.

“Bagi bakteri, berada di dalam perut ikan adalah lingkungan yang menyenangkan,” kata Steve Haddock, ahli biologi di Monterey Bay Aquarium Research Institute di California, Amerika Serikat. Haddock adalah juga anggota tim dalam penelitian milky sea terbaru menggunakan data satelit NOAA. “Bakteri bisa hidup di perut ikan seperti halnya dalam tubuh kita, manusia,” kata dia menambahkan.

Studi oleh Haddock dan Steve Miller, peneliti senior di Colorado State University, juga dua peneliti lainnya melacak milky sea terjadi sedikitnya selusin kali di perairan Samudera Hindia dan sekitar Indonesia antara 2012-2021. Yang terbesar mereka dapati terjadi di selatan Jawa pada 2009, yakni pada 26 Juli hingga 9 Agustus. Citra satelit mengkonfirmasi laut bercahaya saat itu di luasan lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Diperkirakan, jumlah bakteri yang terlibat dalam fenomena itu melampaui 10 sektiliun (1 sektiliun setara 1.000 triliun).

NOAA, EOS

Baca juga:
Ada Darth Vader Isopod Raksasa di Laut Dalam Selatan Jawa

Berita terkait

Satelit NEO-1 Karya BRIN Masuki Tahap Penyelesaian, Diluncurkan Akhir 2024 atau Awal 2025

2 jam lalu

Satelit NEO-1 Karya BRIN Masuki Tahap Penyelesaian, Diluncurkan Akhir 2024 atau Awal 2025

BRIN mengembangkan konstelasi satelit untuk observasi bumi. Satelit NEO-1 kini memasuki tahap penyelesaian akhir.

Baca Selengkapnya

Cerita Pemuda Asal Bandung Gunakan Starlink: Unlimited dan Lebih Stabil

21 jam lalu

Cerita Pemuda Asal Bandung Gunakan Starlink: Unlimited dan Lebih Stabil

Melalui situs resminya, Starlink mematok harga layanan internet sebesar Rp 750 ribu per bulan.

Baca Selengkapnya

Luhut Sebut Starlink Milik Elon Musk Diluncurkan di RI Dua Pekan Lagi, Akan Diumumkan di Bali

4 hari lalu

Luhut Sebut Starlink Milik Elon Musk Diluncurkan di RI Dua Pekan Lagi, Akan Diumumkan di Bali

Menteri Luhut menyebutkan layanan internet berbasis satelit Starlink bakal diluncurkan dalam dua pekan ke depan atau pertengahan Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

4 hari lalu

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

Sekarang ukuran roket juga tidak besar, tapi bisa mengangkut banyak satelit kecil.

Baca Selengkapnya

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

6 hari lalu

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

Penyakit Minamata ditemukan di Jepang pertama kali yang mengancam kesehatan tubuh akibat merkuri. Lantas, bagaimana merkuri dapat masuk ke dalam tubuh?

Baca Selengkapnya

OPPO Find X7 Ultra Versi Satellite Communication Mulai Dijual di China, Ini Spesifikanya

8 hari lalu

OPPO Find X7 Ultra Versi Satellite Communication Mulai Dijual di China, Ini Spesifikanya

OPPO Find X7 Ultra Satellite Communication mendukung kartu China Telecom dan kartu khusus satelit Tiantong.

Baca Selengkapnya

Vivo X100 Ultra Dirumorkan akan Miliki Fitur Konektivitas Satelit, Ini Detailnya

9 hari lalu

Vivo X100 Ultra Dirumorkan akan Miliki Fitur Konektivitas Satelit, Ini Detailnya

Ponsel Vivo X100 Ultra akan menggunakan satelit Tiantong untuk komunikasinya.

Baca Selengkapnya

Kemenkominfo Ingin Tingkatkan Pengelolaan Spektrum Frekuensi Lewat Forum APSMC

13 hari lalu

Kemenkominfo Ingin Tingkatkan Pengelolaan Spektrum Frekuensi Lewat Forum APSMC

Agenda prioritas Indonesia dalam APSMC adalah saling berdiskusi soal tantangan dan pengalaman dalam manajemen spektrum frekuensi.

Baca Selengkapnya

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

18 hari lalu

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

Konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini. Badai dan siklon yang lebih dahsyat adalah perwujudannya.

Baca Selengkapnya

Pakar Ingatkan Bahaya Main Ponsel di Toilet

23 hari lalu

Pakar Ingatkan Bahaya Main Ponsel di Toilet

Penelitian menyebut kebiasaan main ponsel di toilet tentu saja tidak baik karena membuat tubuh lebih mudah terpapar bakteri dan kuman berbahaya.

Baca Selengkapnya