Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Gunung Api Tonga Meletus Dahsyat Sekali Setiap Seribu Tahun
Reporter
Zacharias Wuragil
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 19 Januari 2022 16:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Letusan Gunung Hunga Tonga-Hunga Ha’apai di Tonga, Samudera Pasifik Selatan, pada Sabtu lalu, 15 Januari 2022, adalah yang paling kuat sejak 1100, atau hampir seribu tahun lalu. Dampak dari letusan itu dirasakan luas di Bumi dan kerusakan yang diakibatkannya masih terus dihitung hingga artikel ini dibuat.
Gunung api yang berlokasi sekitar 65 kilometer arah utara Ibu Kota Kerajaan Tonga, Nuku’alofa, tersebut meletus pada pukul 17.10 waktu setempat, atau sekitar tengah hari waktu Indonesia. Citra satelit merekamnya dalam rupa awan jamur raksasa hingga setingi 30 kilometer dan belakangan diketahui menyapu sejauh lebih dari 3000 kilometer ke arah barat, ke Australia.
Hannah Power dari University of Newcastle, Australia, mengatakan kalau alat ukur pasang surut laut di Nuku’alofa merekam gelombang tsunami hingga setinggi 1,19 meter pascaerupsi. Sejumlah video yang diunggah di media sosial menunjukkan gelombang itu menerjang hingga ke permukiman di Tonga.
Tsunami juga mencapai Jepang, memicu peringatan dini evakuasi di negeri itu, serta sampai ke Peru di mana dua orang tenggelam ditelan gelombang di pantai.
Di Tonga, seperti apa dampak kerusakan yan terjadi masih belum jelas karena kabel telepon dan internet bawah laut yang tersambung ke negara kerajaan itu terputus. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan dalam jumpa pers 16 Januari lalu kalau dia menerima laporan perahu-perahu dan batuan besar terdampar di daratan di Nuku’alofa dan merusak bangunan di sana.
Belum ada kabar dari daerah pantai lainnya. Per saat itu juga belum diterima adanya laporan kematian.
Gunung Hunga Tonga-Hunga Ha’apai berdiri setinggi 1,8 kilometer dengan sebagian besar berada di bawah air. Hanya 100 meter tertingginya yang berada di atas air. Gunung api ini telah mengembuskan debu secara sporadis dan membuat gemuruh dari dalam perutnya sejak 20 Desember.
<!--more-->
Gelombang tekanan karena ledakan yang dibuat gunung api itu pada Sabtu lalu menembus atmosfer dengan kecepatan lebih dari 1000 kilometer per jam. Gelombang terekam menyeberangi Amerika Serikat, Inggris dan Eropa. Bunyi ledakan terdengar sampai dekat Fiji, Selandia Baru, bahkan Alaska yang berjarak lebih dari 9000 kilometer.
Erupsi juga memicu hampir 400 ribu kilatan petir di atas gunung api itu seiring partikel debu dan es atmosferik saling bertabrakan dan membangkitkan muatan listrik.
Sensor-sensor atmosferik mendeteksi sejumlah besar gas sulfur dioksida yang dilepaskan oleh erupsi Hunga Tonga-Hunga Hapa’ai yang dapat menyebabkan hujan asam di Tonga dan Fiji. Hujan asam berdampak kepada tanaman pangan dan air bersih. “Tapi jumlahnya belum setara erupsi besar Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 yang cukup untuk menyebabkan pendinginan global,” kata Shane Cronin dari University of Auckland, Selandia Baru.
Cronin dan timnya pernah berkemah di Gunung Hunga Tonga-Hunga Ha’apai pada 2015 lalu. Saat itu mereka sudah mengamati terumbu karang di sekeliling terangkat, membawa dugaan magma sudah terakumulasi di bawahnya dan memperingatkan letusan hebat bisa sewaktu-waktu terjadi.
Cronin membenarkan gunung api itu sudah batuk-batuk beberapa tahun ini, kemungkinan sebagian dari tekanannya yang terus tumbuh memaksa ke luar dari retakan-retakan di sekeliling kawah gunung itu. “Karena terus menguat, tekanan mencapai puncaknya pada 15 Januari lalu yang menyebabkan bagian tengah gunung itu meledak,” katanya.
Gambar-gambar dari satelit memperlihatkan puncak gunung itu yang semula berada di atas air laut sudah tak tampak lagi. “Anda tidak akan bisa lagi berkemah di sana sekarang,” kata Cronin.
Saat ini, aktivitas erupsi gunung Hunga Tonga-Hunga Ha'apai masih tercatat terus terjadi meski lemah dan Cronin mengatakan tidak akan terkejut kalau masih akan ada beberapa erupsi susulan dalam beberapa pekan mendatang. “Meski begitu sepertinya tidak akan sekuat letusan yang pertama,” katanya.
NEW SCIENTIST