COP27 Mesir: Apa Saja yang Gagal, yang Berhasil dan yang Baru

Kamis, 24 November 2022 17:47 WIB

Seorang aktivis iklim ikut serta dalam protes selama KTT iklim COP27, di Sharm el-Sheikh, Mesir, 19 November 2022. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany

TEMPO.CO, Jakarta - Dua minggu penuh Konferensi Perubahan Iklim PBB yang ke-27 atau COP27 telah berakhir pada Minggu 20 November 2022. Kebanyakan dari antara para ilmuwan iklim frustasi pada hasil-hasil yang disepakati yang dinilai minim ambisi untuk penghapusan bahan bakar fosil.

Dokumen ringkasan final COP27 setebal 10 halaman, yang disepakati pada 20 November, menyatakan bahwa pembatasan pemanasan global hanya sampai 1,5 derajat Celsius di atas suhu di masa pra-industri membutuhkan reduksi emisi gas rumah kaca yang cepat, dalam dan berkelanjutan pada 2030.

Tapi, seruan untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil--sebagai sumber emisi gas rumah kaca itu--dihadang oleh negara-negara penghasil minyak, dan sebagian delegasi berusaha menemukan alasan untuk tetap bergembira meski laju dekarbonisasi sangat lambat. Banyak yang menyalahkan krisis energi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina sebagai sebab minimnya progres penghapusan bahan bakar fosil tersebut.

“Ini jelas sekali kalau jendela untuk 1,5 derajat Celsius itu menutup dengan cepat," kata Chukwumerije Okerere, yang studinya tentang cara negara-negara menangani iklim di Alex Ekwueme Federal University Ndufu-Alike, Nigeria. Menurut dia, sudah tidak mungkin lagi untuk menekan kenaikan suhu sebatas 1,5 derajat, "Kecuali ada penyedotan karbondioksida secara massif pada skala yang luar biasa."

Catatan rekor 45 ribu orang hadir di COP27 malah menuntun sebagian orang untuk mempertanyakan apakah format konferensi sudah cocok untuk penanganan sebuah kedaruratan di Bumi. "Negosiasi-negosiasi yang terjadi benar-benar tak menggambarkan realitas," kata Sunita Narain, Direktur Jenderal Pusat Sains dan Lingkungan, sebuah organisasi riset di New Delhi, India.

Advertising
Advertising

Meski ada nilai dalam membawa orang-orang berhimpun bersama untuk membagikan pemikiran dan membangun momentum, Sunita khawatir tujuan utama dari pertemuan--untuk menekan para pemimpin dunia berkomitmen kepada aksi yang lebih kuat dan menjaga memegang komitmennya itu--malah hilang.

"Saya tidak pernah melihat yang seperti ini. Kita telah mereduksi segalanya ke dalam sebuah perhelatan yang sangat besar," katanya.

Para ilmuwan dan penggiat iklim yang hadir pertama kalinya sebagai peserta konferensi melukiskan ketidakpercayaannya bahwa para negosiator pemerintahan negara-negara menghabiskan berhari-hari bolak balik hanya membahas beberapa kata dalam dokumen.

"Saya syok dengan proses yang saya lihat," kata Blutus Mbambi, koordinator program di Pusat Aksi dan Advokasi Perubahan Iklim di Lusaka, Zambia. “Tapi kami akan tetap memperjuangkannya. Kami akan tetap menekan."

Baca juga: Menteri Siti dan Presiden Jokowi Dipuji di COP27 Soal Pengurangan Deforestasi, Apa Kata Walhi?

Perjuangan untuk Pendanaan Baru

Meski begitu, ada satu yang dianggap baik yang muncul dari Sharm El-Sheikh, Mesir, lokasi konferensi. Satu itu adalah para delegasi dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah pulang dengan membawa kesepakatan pendanaan 'loss and damage' yang baru untuk menolong mereka menutup kerugian dampak perubahan iklim.

<!--more-->

Perwakilan dari Cina dan negara dengan pendapatan rendah dan sedang cukup yakin sejak awal agenda soal pendanaan iklim ini ditambahkan di awal konferensi. Keyakinan kalau COP27 akan membawa ke penciptaan pendanaan untuk mendukung negara-negara terdampak parah perubahan iklim.

Somalia, misalnya, yang lebih dari tujuh juta penduduknya menghadapi kelaparan dari kekeringan yang terus berkepanjangan. Atau, Pakistan, negara di mana bencana banjir besarnya pada tahun ini telah menyebabkan kehancuran senilai US$30 miliar.

"Ini telah menjadi tuntutan dari negara-negara paling rawan sejak lama dan selalu diblok oleh negara maju," kata Saleemul Huq dari Universitas Independen, Bangladesh. Dia menunjuk peran seluruh negara berkembang yang bersatu, dipimpin Pakistan, hingga akhirnya negara-negara maju membubuhkan persetujuannya beberapa saat sebelum konferensi ditutup.

Utusan khusus dari Pemerintah Amerika Serikat, John Kerry, tiba di COP27 dengan menentang pendanaan yang dimaksud. Menurutnya, pendanaan eksisting bisa digunakan untuk dampak kerusakan dan kerugian terkait iklim. Negosiator dari AS juga menolak usulan negara-negara penghasil gas rumah kaca yang besar harus menerima kewajiban untuk riwayat emisi mereka. Amerika khawatir usulan itu berujung ke klaim-klaim senilai triliunan dolar.

Uni Eropa juga pada awalnya skeptis, tapi kemudian mengubah posisinya dan menekan AS untuk mengikutinya. Draf--termasuk berapa banyak pendanaan dan siapa saja yang berkontribusi--akan didiskusikan dalam konferensi tahun depan.

Untuk pertama kalinya dalam konferensi iklim PBB, dokumen finalnya juga mendukung reformasi untuk raksasa kreditur seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. IMF, misalnya, memiliki dana US$1 triliun tersedia untuk dipinjamkan ke negara-negara yang sedang dililit masalah keuangan, tapi sangat sedikit porsinya yang tersedia untuk pendanaan iklim.

"Dorongan reformasi ini signifikan," kata Sarah Colenbrander yang meneliti pembiayaan iklim di Overseas Development Institute, sebuah think tank berbasis di London. "Ini karena dorongan datang dari negara-negara yang juga pemegang saham di institusi-institusi itu, dan mampu membuat perubahan itu."

Baca juga: Setahun Terakhir, Ternyata Makassar Tertinggi Alami Pergeseran Iklim di Indonesia

Dampak Krisis Energi

Krisis energi yang dipicu karena invasi Rusia ke Ukraina berkembang luas sepanjang diskusi. Tingginya harga gas alam telah membentuk ulang pasar energi global dan mendorong beberapa negara di Eropa untuk jatuh kembali ke batu bara sembari mereka mencari sumber pemasok baru gas alam.

<!--more-->

Proses negosiasi sebenarnya mendapat angin segar dari komitmen yang dibuat terpisah dalam KTT G20 Bali, Indonesia, di mana negara-negara kaya setuju menyediakan US$20 miliar untuk membantu Indonesia mulai meninggalkan batu bara. Meski begitu banyak fokus di COP27 mengarah kepada negara-negara Eropa yang berebut pasokan gas alam.

Jerman, misalnya, telah meneken perjanjian dengan Mesir untuk memajukan hidrogen hijau juga ekspor gas alam cair. Beberapa negara dan perusahaan Eropa lainnya juga memiliki proyek di negara-negara seperti Senegal, Tanzania dan Aljazair.

Para pemimpin Eropa bersikukuh kalau kebijakan mereka ini hanyalah jangka pendek dan tak akan men-detract komitmen jangka panjang mereka. Masalahnya, Narain mencatat, sebelum krisis energi, retorika dari negara-negara berpendapatan tinggi adalah jangan ada yang mendanai proyek-proyek bahan bakar fosil di negara berpendapatan rendah-sedang.

"Tapi sekarang setiap orang meminta kami untuk meningkatkan suplai," katanya.

Tekanan-tekanan itu memiliki dampak nyata pada proses negosiasi di COP27. Kalimat yang menyerukan penghapusan bahan bakar fosil dibuang dari draf final, sementara kata-kata baru ditambahkan yang mengusulkan percepatan pembangunan sistem energi yang 'ber-emisi rendah'. Frase itu yang dikhawatirkan banyak lainnya akan digunakan untuk memberi jalan pembangunan produksi gas alam--yang masih tergolong bahan bakar fosil--lebih jauh.

Itu sebabnya Mohamed Salem Nashwan, yang mempelajari rekayasa konstruksi sains, teknologi dan transportasi maritim di Kairo, Mesir, ragu akan ada banyak kemajuan komitmen untuk penghapusan bahan bakar fosil di COP28 Dubai tahun depan. “Tuan rumah juga sangat terhubung dengan industri-industri bahan bakar fosil," katanya.

Fokus Baru, Pangan

Kesepakatan di COP27 juga menyatakan bahwa “mengawal keamanan pangan dan mengakhiri kelaparan" adalah prioritas yang fundamental. Komunitas-komunitas dianggap bisa melindungi diri dari dampak perubahan iklim dengan lebih baik jika sistem pengairan terlindungi dan terawat.

Sebagai pembanding, pakta dari COP26 Glasgow tahun lalu sama sekali tak menyebut pertanian, pangan atau air. "Ada progres nyata dalam hal kata-kata," kata Joachim von Braun, apakar ekonomi pertanian di Bonn University, Jerman.

Penambahan fokus itu juga didukung Claudia Sadoff, Direktur Eksekutif CGIAR, sebuah jaringan global pusat riset pertanian. Namun dia menambahkan, "Teks tentang krisis pangan tidak didukung oleh aksi-aksi yang perlu dilakukan."

Berbeda dari pemerintahan negara-negara peserta COP27, Bill and Melinda Gates Foundation di Seattle, Washington, telah menyatakan donasi US$1,4 miliar selama empat tahun ke depan untuk membantu para petani kecil menghadapi dampak segera dan jangka panjang dari perubahan iklim. "Setiap kali dunia menunda aksinya, semakin banyak penduduk yang menderita, dan solusinya akan menjadi semakin kompleks dan mahal," ujar chief executive yayasan itu, Mark Suzman, dalam pernyataannya.

Yang juga absen dalam naskah dari COP27 adalah rujukan ke perkiraan yang dibuat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa sistem pangan bertanggung jawab untuk 21-37 persen emisi karbon global. "Peluang untuk 'pertanian karbon' dan perubahan peruntukan lahan untuk berkontribusi ke mitigasi (iklim) diabaikan," kata von Braun.


NATURE, NEW SCIENTIST


Berita terkait

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

20 jam lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

1 hari lalu

Pertamina International Shipping Catat Penurunan Emisi Karbon 25.445 Ton

PT Pertamina International Shipping mencatat data dekarbonisasi PIS turun signifikan setiap tahun.

Baca Selengkapnya

Indonesia Bahas Pengurangan Emisi Karbon di Hannover Messe 2024

3 hari lalu

Indonesia Bahas Pengurangan Emisi Karbon di Hannover Messe 2024

Pemerintah RI membahas langkah strategis mengurangi emisi karbon sektor industri di ajang pameran global Hannover Messe 2024 Jerman.

Baca Selengkapnya

Pertamina International Shipping Klaim Berhasil Turunkan Emisi Karbon

5 hari lalu

Pertamina International Shipping Klaim Berhasil Turunkan Emisi Karbon

PT Pertamina International Shipping (PIS) mengklaim dekarbonisasi yang dilakukan perusahaannya dapat menurunkan emisi karbon.

Baca Selengkapnya

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

11 hari lalu

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

15 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

33 hari lalu

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

40 hari lalu

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.

Baca Selengkapnya

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

40 hari lalu

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

Studi hujan salju di masa depan mengungkap ladang ski dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil. Ekosistem pegunungan semakin terancam.

Baca Selengkapnya

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

41 hari lalu

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

Kajian peneliti BRIN menunjukkan potensi kekeringan esktrem di IKN Nusantara dan wilayah lainnya di Kalimantan pada 2033-2050. Dipicu perubahan iklim.

Baca Selengkapnya