Greenpeace: Debat Cawapres Luput Membahas Akar Masalah Krisis Iklim
Reporter
Irsyan Hasyim (Kontributor)
Editor
Abdul Manan
Senin, 22 Januari 2024 21:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -
Debat calon wakil presiden dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa telah terselenggara pada Minggu, 21 Januari 2024. Namun Greenpeace Indonesia menilai para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.
“Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud Md. juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama,” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 22 Januari 2024.
Leonard mengatakan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah. Mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria, pperampasan hak-hak masyarakat adat, perusakan hutan. Dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Cawapres 02 dan 03 misalnya, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalahnya. Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Menurut Leonard, ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu. Tetapi, keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika. "Tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja," katanya.
Ruang hidup masyarakat adat, menurut Leonard, terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. Pernyataan cawapres 01, kata dia, tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan. "Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali. Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi."<!--more-->
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022). Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan. Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut.
Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, menyebutkan ketiga cawapres juga tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. “Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat," kata dia. Fakta lainnya, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. Padahal Indonesia berkomitmen melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030.
Khalisah juga menilai cawapres 02 menglorifikasi industri nikel dan ambisi hilirisasinya seperti yang dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan mengabaikan banyaknya persoalan yang terjadi selama ini. Pertambangan nikel telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran akut, dan penggusuran masyarakat adat.
Nikel di Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan. Per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, sebagian besar berada di timur Indonesia yang kaya biodiversitas. Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20 persen dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 hektare atau 8 persen dari deforestasi Kepulauan Maluku.
Khalisah menambahkan, soal isu energi, tiga cawapres tidak menyinggung secara detail rencana percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batu bara. Padahal, transisi energi sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu Bumi. Demokratisasi energi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses transisi energi juga luput dari pembahasan.
Menurut data Dewan Energi Nasional, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.643 GW. Namun pemanfaatannya baru 0,3 persen. Dalam bauran energi nasional, porsi energi terbarukan baru mencapai angka 13,1 persen dari target 23 persen di tahun 2025. Para kandidat juga tak membahas rencana pensiun dini PLTU batu bara. “Absennya isu batu bara ini patut kita pertanyakan. Apa memang dihindari karena masing-masing paslon juga didukung oligarki batu bara?” kata Khalisah.
Para cawapres juga menawarkan solusi palsu dalam transisi energi, yaitu dengan melanjutkan program bioenergi, seperti biodiesel, yang disampaikan cawapres 02. Padahal, kata Khalisah, pemenuhan biodiesel berpotensi memicu ekspansi industri sawit melalui deforestasi yang mengancam hutan dan lanskap gambut alami yang tersisa.
Khalisah menilai Indonesia sudah harus segera beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau. Riset Greenpeace dan CELIOS menemukan bahwa peralihan ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau akan menambah Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional. Transisi untuk meninggalkan sektor ekstraktif juga mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mampu menyerap 19,4 juta orang. Salah satu sektor penyerapan tenaga kerja terbesar adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3,9 juta tenaga kerja lewat pengembangan kemandirian ekonomi di level desa.
“Kita telah menyaksikan debat cawapres yang mengangkat isu lingkungan dan krisis iklim. Terlepas dari keputusan untuk memakai atau tidak memakai hak pilih di Pemilu 2024 ini, kami mengajak para pemilih untuk menimbang dengan rasional dan hati-hati. Sebab jika kita salah memilih, masa depan Bumi dan generasi hari ini dan yang akan datang akan terancam. Itulah kenapa kami menggaungkan kampanye #SalahPilihSusahPulih,” kata Khalisah.
IRSYAN HASYIM