Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Seberapa Ekstrem Dampak Badai Matahari Pekan Ini? Simak Penjelasan Peneliti Antariksa BRIN

image-gnews
Memprediksi Badai Matahari dalam 24 Jam
Memprediksi Badai Matahari dalam 24 Jam
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Bintik hitam matahari atau sunspot berukuran besar menghasilkan badai matahari yang berdampak ke bumi selama beberapa hari terakhir. Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Johan Muhamad, mengatakan fenomena surya itu berpotensi mengganggu koneksi telekomunikasi dan navigasi secara global.

“Dalam tiga hari terakhir sunspot yang besar itu menghasilkan badai matahari yang bisa dibilang cukup ekstrem,” ujar Johan, Ahad, 12 Mei 2024.

Menurut Johan, dampak yang lebih merinci masih harus dikaji lebih jauh. Namun, dari pengamatan astronom sejauh ini, sunspot yang berukuran lebih dari 10 kali bumi itu menghasilkan suara atau flare matahari dan lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME).

“Ukuran sunspot sebesar ini tergolong jarang walau sebelumnya pernah ada,” kata Johan yang juga merupakan Koordinator Kelompok Penelitian Fisika Matahari di Organisasi Riset Penerbangan Antariksa BRIN tersebut.

Konfigurasi magnetik dari sunspot raksasa itu sangat kompleks sehingga menghasilkan flare. Saat ini permukaan sunspot itu mengarah ke bumi yang akhirnya masuk dalam jangkauan flare tersebut. Selain sunspot raksasa, para peneliti juga melihat bintik hitam lain di matahari.

“Jumlah terbaru yang saya lihat, per hari ini (12 Mei) ada 156 sunspot,” tuturnya.

Bintik hitam bertambah karena matahari tengah mencapai puncak siklus aktivitas yang periodenya kurang lebih setiap 11 tahun. Saat ini, Johan meneruskan, posisi sunspot besar berada di pinggir piringan matahari. Perubahan posisi bintik hitam, seiring rotasi matahari, membutuhkan waktu 27 hari.

“Mungkin dalam 3 hari lagi (sunspot besar) sudah tidak kelihatan, tapi masih ada di balik matahari kalau dilihat dari bumi,” kata dia. Dampak badai matahari berkurang karena posisinya tak lagi menghadap bumi.

Gangguan Atmosfer dan Alat Komunikasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pancaran elektromagnetik solar flare bisa mengarah ke bumi dalam hitungan menit. Satelit luar angkasa yang terpapar bisa terganggu. Akibatnya terasa pada layanan komunikasi dan navigasi. Posisi alat navigasi yang digunakan penduduk bumi pun bisa melenceng hingga beberapa meter.

Adapun lontaran massa korona matahari yang berupa material atau partikel proton, serta elektron berenergi tinggi, membutuhkan 1-3 hari untuk sampai ke bumi, tergantung volumenya. Paparan badan matahari juga mengganggu fungsi lapisan ionosfer di atmosfer.

Kendati peneliti terus mengamati aktivitas surya dan memprediksi cuaca antariksa, Johan menyebut fenomena badai matahari masih sulit diantisipasi. “Paling menunggu saja sampai dampak badai matahari mereda,” ujar Johan.

Pancaran partikel dan energi dari matahari yang masuk ke bumi melalui kutub utara dan selatan lazimnya menampilkan aurora pada malam hari. Badai matahari membuat area pengamatan aurora semakin luas di wilayah lintang menengah.

Aurora bisa terlihat hingga negara skandinavia Eropa seperti Norwegia, Swedia, Finlandia, Inggris, dan Alaska, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat. “Orang-orang di lintang menengah yang tidak biasa melihat aurora kemarin baru pertama kali melihat seumur hidupnya tanpa harus ke daerah kutub,” kata Johan.

Bagi kalangan astronom, badai matahari langka akan menambah pengetahuan. Johan mengimbuhkan, fenomena ini juga momentum untuk menguji banyak parameter, terutama soal bahaya sunspot. “Kalau yang sekarang ini dampaknya masih bisa ditolerir.”

Pilihan Editor: Satelit Starlink Milik Elon Musk Terganggu Akibat Badai Matahari, Begini Penjelasannya

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Peneliti BRIN Ungkap Fakta Gelombang Panas di Asean: Naik Signifikan, Picu Krisis Pangan dan Kesehatan

25 menit lalu

Warga menggunakan payung saat aktivitas di luar ruangan menghindari terik matahari di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Selasa 7 Mei 2024. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa fenomena gelombang panas di sebagian wilayah Asia dalam sepekan terakhir tidak berkaitan dengan kondisi suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia. TEMPO/Subekti.
Peneliti BRIN Ungkap Fakta Gelombang Panas di Asean: Naik Signifikan, Picu Krisis Pangan dan Kesehatan

Gelombang panas yang terjadi di Indonesia memiliki korelasi yang linear dan secara umum dipengaruhi oleh fenomena El Nino.


Potensi La Nina 2024, Peneliti BRIN: Redam Kekeringan di Indonesia Barat Saat Kemarau

4 hari lalu

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2024 angkat tema #Restorasi Generasi. Anak-anak dipandang rentan terhadap krisis iklim, termasuk yang berupa kekeringan dampak kemarau. SAVE THE CHILDREN INDONESIA
Potensi La Nina 2024, Peneliti BRIN: Redam Kekeringan di Indonesia Barat Saat Kemarau

Kebanyakan model prediksi cuaca mengindikasikan kemunculan La Nina pada September mendatang.


Peneliti BRIN Peringatkan Peningkatan Curah Hujan, Sepaku IKN Banjir Setinggi 2 Meter

5 hari lalu

Banjir merendam Kampung Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Senin, 24 Juni 2024. (Foto: Istimewa)
Peneliti BRIN Peringatkan Peningkatan Curah Hujan, Sepaku IKN Banjir Setinggi 2 Meter

Hujan dengan intensitas lebat pada 23 Juni 2024 membuat Kampung Sepaku terendam banjir dengan ketinggian air mencapai dua meter.


Soal Legalisasi Kratom, Anggota DPR Minta Tunggu Penelitian

6 hari lalu

Warga memetik daun kratom atau daun purik saat panen di perkarangan rumahnya di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu, 10 Februari 2024. Tanaman kratom (mitragyna speciosa) yang merupakan bahan baku minuman sejenis jamu khas Kabupaten Kapuas Hulu tersebut dijual warga setempat dalam bentuk daun mentah/basah seharga Rp2.500 - Rp3.000 per kilogram, dan remahan atau cacahan seharga Rp12 ribu per kilogram. ANTARA FOTO/Jessica Wuysang
Soal Legalisasi Kratom, Anggota DPR Minta Tunggu Penelitian

Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto legalisasi kratom masih menunggu penelitian dari BRIN yang didampingi BPOM.


Soroti Klaim BRIN soal Publikasi Jurnal Ilmiah, KIKA Minta Kualitas Karya Diperhatikan

6 hari lalu

Ilustrasi jurnal ilmiah. Shutterstock
Soroti Klaim BRIN soal Publikasi Jurnal Ilmiah, KIKA Minta Kualitas Karya Diperhatikan

KIKA mengkritik banyaknya peneliti dan akademisi Indonesia yang menerbitkan publikasi di jurnal predator dengan jaminan kualitas yang buruk.


BRIN Kembangkan PLTS Terapung Mobile Pertama di Indonesia

6 hari lalu

Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa 26 September 2023. PT PLN Nusantara Power akan menguji coba PLTS Terapung Cirata yang merupakan PLTS apung terbesar di Asia Tenggara pada Oktober 2023 sebelum diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada November 2023. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
BRIN Kembangkan PLTS Terapung Mobile Pertama di Indonesia

BRIN mengembangkan PLTS terapung mobile pertama. Memanfaatkan potensi besar energi surya dan mengatasi keterbatasan lahan.


Pemprov Jakarta Siapkan Water Mist Tangkal Polusi Udara Jabodetabek, Bagaimana Sistem Kerjanya?

7 hari lalu

Gedung-gedung diselimuti polusi udara di kawasan Kota Jakarta, Selasa 24 Oktober 2024. Kualitas udara di Jakarta pada Selasa (24/10/2023) pagi tidak sehat dan menempati peringkat ke 4 terburuk di dunia. Berdasarkan data IQAir, tingkat polusi di Ibu Kota berada di angka 170 AQI US pada pukul 06.00 WIB. Peringkat kualitas udara Jakarta saat ini berada di posisi ke-4 di dunia dengan indikator warna merah, yang artinya tidak sehat. Adapun indikator warna lainnya yaitu ungu yang berarti sangat tidak sehat, hitam berbahaya, hijau baik, kuning sedang, dan oranye tidak sehat bagi kelompok sensitif. TEMPO/Subekti.
Pemprov Jakarta Siapkan Water Mist Tangkal Polusi Udara Jabodetabek, Bagaimana Sistem Kerjanya?

Upaya menekan polusi udara, Pemerintah Provinsi Jakarta menyiapkan penggunaan kabut air (water mist) saat memasuki musim kemarau.


Pakar Klimatologi BRIN: Wilayah IKN Diprediksi Hujan Sepanjang Kemarau, Imbas BSISO

7 hari lalu

Potret pembangunan infrastruktur inti di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Senin, 6 Mei 2024. TEMPO/Riri Rahayu
Pakar Klimatologi BRIN: Wilayah IKN Diprediksi Hujan Sepanjang Kemarau, Imbas BSISO

Peneliti BRIN memprediksi hujan sepanjang kemarau di Kalimantan, termasuk di wilayah IKN.


Mengenal Efek Daun Kratom, Apa Alternatif Tanaman Penggantinya?

9 hari lalu

Daun Kratom (wikipedia)
Mengenal Efek Daun Kratom, Apa Alternatif Tanaman Penggantinya?

BNN menyatakan kratom memiliki efek samping yang membahayakan, terlebih bila penggunaannya tidak sesuai takaran.


Dari Gagak sampai Cekakak, Laporan Tempo dari Ekspedisi BRIN di Nusa Barung

9 hari lalu

Seorang peneliti BRIN sedang mengamati burung-burung di area kubangan atau telaga dalam kawasan hutan Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barong, Senin siang, 20 Mei 2024. Kubangan ini merupakan sumber minuman bagi seluruh satwa di sana. TEMPO/Abdi Purmono
Dari Gagak sampai Cekakak, Laporan Tempo dari Ekspedisi BRIN di Nusa Barung

Ekspedisi tim bentukan BRIN ke Suaka Margasatwa Pulau Nusa Barung dapati 7 catatan baru aves penghuni pulau di tepi terluar Samudera Indonesia itu.