TEMPO.CO, Depok - Pakar Neurologi dari Universitas Indonesia (UI) Salim Haris menciptakan suatu rumus diagnostik baru yang dapat mendeteksi ada atau tidaknya migrain pada pasien yang mengeluhkan sakit kepala. Metode ini ia sebut Indeks Vaskular Migrain (IVM).
Rumus ini telah divalidasi dan mendapatkan hak atas kekayaan intetektual (HAKI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dengan nomor pencatatan 086676 yang diumumkan pada tanggal 1 Januari 2017 dengan jangka waktu perlindungan yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Baca: Migrain Tak Hanya Sakit Kepala Sebelah, Simak Penelitiannya
Menurut SalimIVM diketahui dengan mengukur nilai rata-rata kecepatan aliran sel darah merah ke otak. Pengukurannya menggunakan ultrasonografi doppler yang ditempelkan di pelipis. Pasien saat proses ini harus menahan napas dan bernapas cepat, masing-masing selama 30 detik.
“Aliran pembuluh darah otak pada penderita migrain terbukti tidak mampu melebar secara maksimal saat menahan napas dan mengecil lebih kuat saat bernapas cepat, sehingga proses menahan napas ini perlu dilakukan,” ungkap Salim melalui siaran pers Rabu10 Januari 2018.
Dengan menggunakan IVM, hasil diagnosis bisa mencapai 94,23 persen, sedangkan jika digabung dengan International Headache Society (IHS) classification, hasil diagnosis menjadi 98,08 persen. Salim berharap, IVM dapat meningkatkan hasil diagnosis pasien migrain. Sebab, tanpa itu potensi efektivitas pengobatan pun menurun.
Pemeriksaan IVM sangat bermanfaat untuk menjaring orang dengan benar, agar mendapatkan pengobatan yang tepat, karena semakin lama migrain tidak tertangani, semakin berat dan semakin sulit penanganan selanjutnya. Dengan hasil inovasi baru yang didapatkan ini, diharapkan UI memberikan sumbangsih bagi masyarakat, khususnya dunia kesehatan Indonesia.
Migrain merupakan suatu kondisi yang dianggap umum oleh masyarakat, namun migrain tidak dapat diremehkan. Menurut survei The Global Burden of Disease 2010 yang dilakukan World Health Organization (WHO), migrain merupakan penyebab disabilitas ketujuh tertinggi global.
Prevelensi migrain di Asia mencapai 22,4 persen berdasarkan penelitian di Hong Kong. Sedangkan, di Indonesia, prevelensi migrain mencapai 22,4 persen berdasarkan studi populasi Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI.
Namun, diagnosis migrain ternyata bukanlah hal yang mudah. Saat ini cenderung terjadi kondisi overdiagnosis migrain di masyarakat. Masyarakat cenderung menganggap sakit kepala sebelah adalah migrain, padahal migrain dapat terjadi di seluruh bagian kepala, bukan hanya di satu bagian saja. Nyeri di kepala juga tidak harus migrain, bisa saja hal tersebut merupakan indikasi sinusitis, sakit kepala servikogenik, sakit kepala tegang, dan banyak lagi.
Sedangkan metode diagnosis migrain yang umum dipakai, International Headache Society (IHS) classification, menimbulkan banyak perbedaan persepsi dokter sehingga metode ini dapat menimbulkan kesalahan diagnosis (underdiagnosis) paling sedikit 50 persen. Overdiagnosis dan underdiagnosis menyebabkan penanganan migrain yang tidak tepat.
IRSYAN HASYIM