TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bersama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR, menyelenggarakan Blue Carbon Summit pada 17-18 Juli 2018 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat.
Baca: Potensi Blue Carbon di Papua Barat Besar, Ini Faktanya
Baca: Blue Carbon bagi Warga Pesisir
Acara ini dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Pertama, untuk memulai dialog lintas sektor dan pemangku kepentingan terkait dengan masalah karbon biru. Kedua, memfasilitasi komunitas ilmiah dan kebijakan untuk mengidentifikasi kesenjangan yang menghambat pengembangan karbon biru secara nasional maupun global. Ketiga, mengarahkan pengembangan karbon biru di Indonesia, sejalan dengan akan diadakannya COP24 di Polandia pada Desember 2018.
“Nantinya juga diharapkan ada strategi perekonomian yang dihasilkan sesuai kondisi maritim Indonesia,“ ujar Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Satryo S. Brodjonegoro, pada pembukaan konferensi.
Karbon biru merupakan karbon yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah pasang surut, seperti hutan yang dipengaruhi pasang surut, bakau, rawa pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan sumber karbon biomassa yang tidak hidup. Seperti namanya, karbon ini berwarna biru, karena terbentuk di bawah air.
Karbon biru dianggap penting, sebab ekosistemnya adalah penyerap karbon yang efektif. Mereka dapat memainkan peran utama dalam memenuhi target nasional dan global tentang perubahan iklim.
Selain menghadirkan berbagai tokoh di bidang ilmu pengetahuan,
Blue Carbon Summit menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B. Panjaitan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang P.S. Brodjonegoro.
MUHAMMAD ABI MULYA