Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat, Pusat Vulknanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau PVMBG Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kristianto, mengatakan tsunami bisa dipicu oleh erupsi gunung api.
Baca: Wapres Jusuf Kalla Sebut Tsunami Selat Sunda Tidak Biasa
Menurut dia, sedikitnya ada dua kemungkinan terjadinya tsunami. Pertama akibat energi letusannya relatif besar, dan kedua karena material tubuh gunung api itu longsor ke dalam laut. “Kalau memang menimbulkan tsunami, eneginya harus besar, material (yang longsor) harus besar. Ini yang harus dibuktikan,” kata Kristianto di kantornya di Bandung, Minggu, 23 Desember 2018.
Kristianto menjelaskan, serangkaian erupsi sebelumnya, sejak 29 Juni 2018, belum pernah terpantau memicu terjadinya gelombang tinggi atau tsunami di Selat Sunda. Ditambah, serangkaian erupsi Gurung Anak Krakatau pada Sabtu, 22 Desember 2018, energinya tidak sebesar letusan sebelumnya.
“Letusan Gunung Anak Krakatau sebetulnya fluktuatif dari bulan ke bulan dari hari ke hari juga. Jumlah letusan yang paling tinggi itu pada November, dan itu pun tidak ada informasi terkait gelombang, atau efek yang lain. Yang terlihat memang material yang dikeluarkan masih sebatas di dalam radius 2 kilometer. Itu berupa aliran lava dan lontaran material pijar,” kata Kristianto.
Petugas Basarnas dibantu warga mengevakuasi korban meninggal akibat tsunami di pesisir Cinangka, Serang, Banten, Ahad, 23 Desember 2018. Hingga pukul 10.00 WIB tadi, sebanyak 62 orang tercatat tewas akibat tsunami Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. ANTARA/Basarnas
Lelehan lava pijar yang mengalir ke laut, katanya, mengarah ke Selatan-Tenggara dari pusat letusan Gunung Anak Krakatau, juga hanya berlanhsung perlahan. “Alirannya pelan". Spekulasi yang tersisa, kata Kristianto, tinggal kemungkinan dipicu oleh longsoran tubuh Gunung Anak Karakatu.
Tim PVMBG akan mengecek ke lapangan dengan data pembanding dari citra satelit tubuh gunung itu. “Longsoran itu harus berupa material dalam jumlah besar yang masuk ke air secara mendadak. Bisa dari tubuh gunung api. Makanya kami akan mencari data di permukaan dulu, apakah ada indikasi memang longsoran terjadi di tebingnya atau yang lainnya.”
Kristianto mengatakan, pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 21.03 WIB terjadi erupsi yang merusak peratalan seismik. Alat tersebut dipasang di Pulau Gunung Anak Krakatau. Karena rusak, pemantauan seismik gunung Anak Krakatau saat ini mengandalkan peralatan yang ada di pulau terdekat yakni Pulau Sertung.
Berdasarkan data pemantauan seismik gunung api diklaim tidak ada yang ganjil. “Kami tanyakan pengamat di sana, tidak ada hal yang signifikan di jam tersebut,” kata Kristianto. Kendati demikian, menurutnya, peralatan pemantau mencatat aktivitas seismik over-scale. “Kalau sedang over-scale, kami memantau jumlah gempa letusan memang agak susah”.
ANTARA | AHMAD FIKRI