TEMPO.CO, Jakarta - Sebagai seorang ahli kimia lingkungan dan toksikologi, Prof. Emeritus Paul Connett, menjelaskan secara gamblang mengapa insinerator harus ditolak. Ia merinci risiko dari penerapan insinerator dapat menyebabkan berbagai dampak negatif seperti kerugian energi, dampak terhadap kesehatan, ekonomi, dan lainnya.
Khusus untuk dampak kesehatan, hasil penelitiannya yang telah menjadi rujukan berbagai pihak, membuktikan bahwa satu ekor sapi dapat menghirup racun dioksin (buangan insinerator) jauh lebih banyak daripada manusia, yaitu 1 hari hirupan dioksin oleh sapi setara dengan 14 tahun hirupan dioksin oleh manusia.
“Yang menjadi persoalan adalah karena manusia yang selanjutnya mengkonsumsi daging sapi dan susu sapi tersebut. Bayangkan, di peternakan yang berlokasi dekat dengan insinerator, satu liter susu sapi mengandung dosis dioksin setara dengan hirupan dioksin manusia selama 8 bulan. Dioksin yang terhirup oleh manusia tersebut akan melekat pada lapisan lemak dalam badan dan akan terus menumpuk,” ujar pria berusia 78 tahun ini, Sabtu 13 Juli 2019.
“Berbeda dengan wanita, tidak ada cara bagi laki-laki untuk mengeluarkan dioksin dari dalam tubuhnya. Bagi wanita ada satu cara yang dapat ditempuh, yaitu melahirkan. Namun, dengan melahirkan, dioksin yang keluar dari tubuh wanita akan beralih ke tubuh sang bayi,” tambah profesor yang juga lulusan dari Universitas Cambridge ini.
Menurut Prof. Paul, dengan fakta bahwa sampah Indonesia 62 persen didominasi oleh sampah organik, composting menjadi satu bagian dari langkah Zero Waste yang harus dan penting untuk ditempuh. Hal ini akan membantu mengefisiensikan pengelolaan sampah di hilir yang terlalu terbebani, seperti di landfill.
Prof. Paul datang ke Indonesia dalam rangkaian tur dunianya yang bertajuk Zero Waste Campaign Tour 2019. Kedatangannya tahun 2019 ini merupakan kali kedua di Indonesia, setelah pada 2016 lalu ia hadir dalam rangkaian kegiatan yang senada untuk berbicara di berbagai kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar.
Kunjungan Prof. Paul pada 2019 ini masih membawa pesan utama yang sama, yaitu mendorong implementasi konsep zero waste sebagai solusi yang berkelanjutan untuk permasalahan sampah di dunia dan menolak penerapan false solution dalam pengelolaan sampah di Indonesia, seperti insinerator, pyrolysis, waste-to-energy, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan lain sebagainya.