TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Korupsi Sumber Daya Alam menyatakan menolak revisi UU KPK (Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi). Menurut mereka, revisi UU KPK bisa berdampak bagi kerusakan lingkungan yang lebih besar.
"Peran status KPK dalam penyelamatan sumber daya alam. Di sini, tidak hanya faktor kerusakan lingkungan, tapi melihat apa yang sudah dilakukan KPK, bukan hanya kerugian negara dari sisi penerimaan pajak, kepatuhan, pelanggaran perizinan dan juga kerusakan lingkungan," ujar Monica Tanuhandaru dari Partnership for Governance Reform (Kemitraan), di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Selasa, 10 September 2019.
Sebelumnya, menjelang habis masa jabatan periode 2014-2019 para anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pembahasan revisi UU KPK atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Rapat Paripurna Kamis, 5 September 2019, DPR menyepakati revisi UU KPK adalah usul inisiatif DPR.
Menurut Monica, KPK justru membantu tata kelola sumber daya alam, yang memberikan kontribusi cukup besar dalam kerusakan. Monica mengatakan bahwa KPK justru sudah melakukan tata kelola sumber daya alam yang baik, dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sumber daya alam.
"Kita melihat keberadaan KPK dalam memberikan kepastian hukum. Jadi dalam investasi yang diharapkan oleh presiden itu, jika KPK dilemahkan justru akan menghalau investasi asing masuk ke Indonesia," kata Monica. "Karena kita tidak dianggap negara yang bisa memberikan kepastian hukum kepada investasi."
Monica menjelaskan bahwa masyarakat berharap investasi yang masuk Indonesia adalah investasi yang baik, bukan investasi yang melalui uang pelicin atau uang suap. Justru, kata Monica, koalisi mengharapkan adanya investor yang masuk ke Indonesia dengan kepatuhan pembayaran pajak, aturan, dan isu lingkungan atau menjaga lingkungan.
Monica juga menegaskan kembali bahwa keberadaan KPK itu adalah simbol hukum dan penghargaan terhadap hukum di Indonesia. "Dengan melemahkan atau menghancurkan KPK, itu membuat Indonesia sangat tidak ramah terhadap investasi dan memberikan ketidakpastian hukum kepada investasi juga pada dunia usaha," tutur Monica.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Nur Hidayati melihat dalam pemerintahan ke depan, DPR dan pemerintah sangat pro kepada investasi. Walhi baru-baru ini mengajukan judicial review terhadap PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang pelayanan perizianan berusaha, yang menegasikan satu aspek yang sangat penting yaitu AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).
Jadi, Nur berujar, izin-izin semua hanya bersifat check list, sementara AMDAL belakang. Jadi, kata dia, perusahaan kemudian bisa datang ke satu tempat, dan bisa melakukan operasi membangun sarana dan prasarana, yang membuat masyarakat susah mengajukan gugatan.
"Ini, karena tidak ada pemberitahuan dan yang lainnya. Terkait kerugian negara terhadap praktik-praktik ilegal sudah banyak diketahui, dan memang sejauh ini KPK yang paling efektif untuk bisa meng-capture kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik-praktik yang ilegal itu," ujar Nur.
Dengan pelemahan ini, Nur melanjutkan, tentu akan menjadi sulit untuk bisa menuntut tanggung jawab terhadap korporasi. Misalnya, Nur memberikan contoh, ketika KPK sedang melihat aspek kerugian negara, bagaimana definisi dari kerugian negara yang bisa menjadi lebih luas dari hanya sekadar pemungutan pajak dan lain-lain.
"Pelemahan KPK sebenarnya menunjukkan ada upaya yang sistematis dan ini melengkapi puzzle yang ada, jadi utuh menyeluruh," tutur Nur. "Karena mulai dari perizinan dipermudah, lalu UU sektoralnya sudah memberikan peluang besar kepada investasi dan bisnis. Lalu kalau terjadi penindakan itu pasti dilemahkan."