TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Iran mengakui telah secara tidak sengaja merudal pesawat komersil Ukraina International Airlines dan menewaskan seluruh 176 orang di dalamnya. Didahului kilatan di langit, pesawat itu rontok dan meledak di dekat Teheran pada Rabu pagi 8 Januari 2020.
Peristiwa itu beberapa jam saja setelah serangkaian serangan rudal negeri Republik Islam itu ke dua pangkalan Amerika Serikat di Irak--sebagai serangan balasan atas kematian jenderal mereka, Qassem Soleimani. Soleimani tewas dalam serangan dengan drone MQ-9 Reaper pada 3 Januari.
Foto-foto dari lokasi jatuhnya pesawat Ukraina di Iran, yang diposting di media sosial, menunjukkan sisa-sisa rudal dari sistem pertahanan udara Tor. Sistem persenjataan itu dikenali buatan Rusia. NATO menyebutnya sebagai SA-15 Gauntlet, sistem rudal darat ke udara jarak dekat-menengah yang pernah dipasarkan Rusia pada 2005 lalu.
Penelusuran Washington Post mengungkap pernyataan pejabat militer Rusia pada 2007 yang mengumumkan telah menjual sistem Tor M-1, yang juga dikenal sebagai SA-15, ke Teheran. Sedang media Inggris, Guardian, pada tahun yang sama, menyebut kalau Iran memperoleh 29 sistem pertahanan udara itu dengan nilai kontrak US$ 700 juta.
Will Mackenzie, peneliti program pertahanan militer di Center for New American Security, menerangkan bahwa SA-15 Gauntlet adalah platform awal dari sebuah sistem pertahanan udara jarak pendek. "Dan ini sebuah sistem yang mobile sehingga bisa dipindah-pindahkan," katanya seperti dikutip dari Washington Post, 10 Januari 2020.
Sistem peluncur rudal pertahanan udara Tor M-1 atau juga dikenal SA-15 buatan Rusia. REUTERS
SA-15 mampu menembak jatuh jet tempur maupun peluru-peluru kendali. Sistem pertahanan udara ini bisa melacak target sejauh 15,5 mil atau 25 km dan mencegat target yang terbang hingga ketinggian 32.800 kaki atau 10 kilometer. Jika diperlukan, SA-15 juga didesain bisa melacak hingga 48 target sekaligus dan menembakkan dua rudal hampir bersamaan.
"Rudal yang ditembakkan dari SA-15 didesain untuk menghancurkan targetnya dengan pecahan metal yang dihasilkan saat rudal meledak," kata Michael Duitsman, peneliti di Center for Non-Proliferation Studies di Middlebury Institute of International Studies.
Dia menduga militer Iran bisa salah menembak pesawat sipil Ukraina akibat kepanikan mewaspadai serangan balasan Amerika atas serangan yang mereka lakukan pada 8 Januari. "Ini kecelakaan yang komplet karena militer Iran membiarkan pesawat sipil terbang sementara mereka sedang mewaspadai serangan balasan Amerika."
WASHINGTON POST, REUTERS