TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Frilasita Aisyah Yudhaputri menjawab pertanyaan yang banyak diajukan saat ini: mampukah Indonesia mendeteksi keberadaan virus corona baru nan mematikan, COVID-19? Menurutnya, melalui pendekatan biologi molekuler, Eijkman telah memiliki kapasitas dan kemampuan dalam mendeteksi secara sensitif dan spesifik keberadaan setiap virus tersebut dalam sampel teknis.
Dalam acara Seminar Awam bertajuk ‘Menyikapi Virus Corona 2019-nCoV: dari Lembaga Eijkmam untuk Indonesia’ di Auditorium Auditorium Sitoplasma, Lembaga Eijkman, Jakarta Pusat, wanita yang biasa disapa Sisi itu menjelaskan, metode yang digunakan adalah kombinasi Teknik PCR dan sequencing dengan menggunakan gen RNA-dependent RNA Polymerase (RdRP) virus sebagai penanda identifikasi.
“Dalam penanganan virus corona, Eijkman mempunyai fasilitas laboratorium tersertifikasi untuk menangani patogen risiko tinggi, laboratorium Biosafety Level (BSL) 2 dan 3,” katanya Rabu, 12 Februari 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan nama virus corona misterius ini yaitu COVID-19. Hingga malam ini, Rabu, virus asal Wuhan, Provinsi Hubei, Cina itu telah menewaskan sebanyak 1.018 orang, termasuk dua orang dari Filipina dan HongKong. Dan terkonfirmasi telah menginfeksi 43.141 orang di 28 negara.
Sisi yang merupakan Koordinator Penelitian Emerging Virus Research Unit itu menerangkan, kemampuan tersebut juga didukung fasilitas alat Next-Generation Sequencing dan analisis bioinformatika yang diakui secara internasional. “Dengan demikian, Eijkman memiliki peran secara strategis sebagai laboratorium yang langsung memeriksa sampel klinis dari pasien terduga atau menjadi laboratorium pembanding dan konfirmasi,” kata dia.
Karena, Sisi melanjutkan, fasilitas, regensia dan pengalaman yang sama dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan vorus COVID-19 dalam sampel pasien terduga. “Saat ini semua fasilitas, regensia dan sistem telah dioptimasi untuk mendeteksi virus itu,” tambah Sisi.
Kemampuan tersebut juga didukung oleh pengalaman panjang yang dimiliki Eijkman dalam menangani penyakit infeksi yang baru timbul. Peneliti Senior Eijkman David H. Muljono menyebutkan beberapa pengalamannya yaitu, identifikasi, isolasi dan kajian molekuler flu burung (H5N1) pada 2005, serta identifikasi, isolasi dan karakterisasi virus West-Nile pertama dan satu-satunya di Indonesia pada tahun 2012.
Selain itu, kata David, juga identifikasi, isolasi dan kajian molekuler virus zika satu-satunya di Indonesia pada 2015; bantuan penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) tifoid dan leptospirosis di Jeneponto 2019.
“Kami juga pernah identifikasi mikroba pada populasi pemburu, pedagang, dan konsumen satwa liar di Tomohon, Sulawesi Utara, yang berhasil mendeteksi keberadaan virus corona di manusia,” kata Deputi Kepala Bidang Penelitian Translasional di Eijkman itu.