TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Wibowo menerangkan bahwa semburan lumpur yang muncul di Jalan Lembur I, Kelurahan Jatirangga, Jatisampurna, Bekasi, berbeda dengan fenomena serupa yang terjadi kawasan Hutan Kesongo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Sepertinya, kata dia, yang terjadi di Bekasi kemungkinan diakibatkan oleh aktivitas pembangunan di sekitar wilayah.
"Kalau yang Bekasi kemungkinan karena endapan aluvial yang sebagian material pada endapan rawa yang saling berselingan dengan pasir lempung. Pada endapan rawa-rawa pantai purba, biasanya terperangkap organik yang dapat menghasilkan biogas tapi kecil-kecil," ujar dia saat dihubungi, Senin, 7 September 2020.
Sementara, semburan lumpur dan gas di kawasan Hutan Kesongo, tidak perlu menunggu adanya aktivitas pengeboran di permukaan karena termasuk zona ekstrusi cairan seperti hidrokarbon dan gas seperti metana atau yang biasa dikenal mud volcano. Semburan juga salah satunya bisa dipicu adanya deformasi dan aktivitas kegempaan.
Menurut Eko, semburan lumpur di Bekasi yang terjadi pada Sabtu, 5 September 2020 itu adalah fenomena biasa yang terjadi karena adanya pembuatan sumur pantek atau sumur dalam pakai mesin. "Atau juga pembuatan fondasi-fondasi dalam untuk pembangunan gedung yang tinggi, kemungkinan itu penyebabnya," ujarnya.
Namun, semburan lumpur yang sempat ramai di media sosial itu bisa diproteksi dengan sentuhan teknologi rekayasa untuk memitigasinya. "Karena akhirnya, jika mengalami seperti itu harganya jadi mahal. Tapi tidak berbahaya, biasanya setelah keluar lama-lama akan lepas pelan-pelan, dan akhirnya berhenti," tutur Eko.
Eko juga sempat mempertanyakan lokasi tepatnya peristiwa semburan lumpur di Bekasi itu muncul. Karena, Eko berujar, ketika dia melakukan uji cepat atau sondir di sekitar utara Tambun, dirinya menemukan tanah lunak mengandung organik yang cukup tebal kira-kira pada tahun 2014 lalu.
Eko yang juga pakar kebumian, geologi dam geofisika itu menceritakan pengalamannya dalam pembuatan fondasi, yang akhirnya pengeborannya dicampur lumpur bentonite agar permeabilitas dan porositasnya teredam. "Tapi jadi mahal karena harus menambahkan campuran bentonite, karena lokasi tidak mungkin dipindah. Tapi banyak sekarang metode-metode untuk mengatasinya," kata dia.
Untuk mitigasinya, Eko menyarankan, sebaiknya pemerintah kabupaten/kota dalam Rekomendasi Tata Ruang Wilayah Detail (RTRW) sudah ada blue print yang detail, mulai dari tinjauan pendukung dan daya dukung, serta limitasi dari ancaman bahaya geologinya. Biasanya, Eko berujar, dokumen yang masih umum ini tidak detail karena memerlukan kajian yang detail dari berbagai aspek.
Sementara, kalau dukumen regulasi sudah detail dalam RTRW, yang akan membangun akan tahu dari aspek keamanan dan ancamannya. "Kalau di negara yang sudah ada aturannya dan regulasinya baik dan masif seperti contoh di Singapura, Jepang, Australia, Taiwan dan lain-lain orang mau membangun apapun sudah bisa mempertimbangkan regulasinya," ujar Eko menambahkan.