TEMPO.CO, Jakarta - Andi Mallarangeng menyambut kerja sama Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) dengan Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara untuk menggarap digitalisasi aksara Lontara.
“Dari MoU yang terjalin dengan PANDI saat ini, saya sangat bersemangat untuk kembali bersama-sama melestarikan aksara Lontara," ungkap Andi Mallarangeng yang juga Wakil Dewan Pembina Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara pekan lalu.
Andi mengatakan dalam era digital, kalau suatu aksara tidak hadir dalam bentuk digital, aksara itu dianggap tidak ada. “Kalau pun ada, ia dianggap aksara yang tidak lagi hidup, tidak ada lagi pendukung aktifnya, atau dengan kata lain, aksara mati. Persis seperti aksara Mesir kuno, hierogliph,” ujarnya.
Menurutnya, aksara Nusantara tidak ketinggalan dalam memasuki era digital. Andi mengatakan ketika menciptakan BugisA true type font 25 tahun lalu di Northern Illinois University, dalam proses pergantian DOS ke Windows sebagai sistem operasi komputer, saat itu pihaknya hanya terlambat beberapa bulan dari aksara Thailand, tetapi lebih duluan daripada aksara Burma. Bahkan, aksara Lontara dan belakangan aksara Jawa pun telah terdaftar di Unicode.
Sayangnya, kata Andi, kehadiran aksara Nusantara dalam dunia digital tampaknya hanya sampai di tahap itu. Berbagai aksara Nusantara lainnya telah dibuat fontnya sehingga bisa digunakan untuk menulis di komputer. “Kebanyakan digunakan untuk menulis kutipan-kutipan bahasa daerah dalam tulisan-tulisan ilmiah atau tesis yang berbahasa Indonesia. Di koran atau media lainnya, artikel berbahasa daerah tetap saja menggunakan aksara Latin,” ujarnya.
Untuk aksara Lontara dan aksara Jawa yang sudah terdaftar di Unicode, kata Andi, sedikit lebih baik nasibnya, karena sudah tercakup di dalam smartphone. “Karena itu, kita sudah bisa menyetel smartphone kita untuk opsi aksara Lontara dan Jawa guna menulis pesan di berbagai platform seperti WhatsApp, Line, Messenger, Telegram,” ujarnya.
Tapi semua itu masih sporadis sifatnya. Belum ada platform digital tersendiri yang menggunakan aksara Nusantara sebagai basisnya. Dan karena itu, menurut Andi, dalam kacamata dunia digital, aksara Nusantara masih seperti hierogliph, aksara Mesir kuno. “Ada, bisa dipelajari dan dituliskan, tapi pada dasarnya sudah mati.”
“Karena itu, inisiatif PANDI sebagai pengelola domain name di Indonesia untuk 'merajut Indonesia' dalam bentuk penetapan domain name tersendiri untuk aksara-aksara nusantara patut disambut dengan gembira. Dua jempol. Dengan begitu, seiring dengan .id sebagai domain name bahasa kebangsaan kita, Bahasa Indonesia, akan hadir juga domain name yang mewakili aksara-aksara nusantara sebagaimana yang bisa dilihat pada gambar di bawah ini,” ujar Andi.
Dengan upaya itu, nantinya untuk aksara Lontara, misalnya, akan ada domain name . (bacanya .INA, singkatan untuk negara kita dalam dunia internasional).
Tentu saja setiap domain name itu tetap harus didaftarkan ke ICANN, sebagai pengelola domain name dunia. Dan ICANN baru akan menyetujui jika dia yakin bahwa aksara itu benar-benar hidup dan punya pendukung budaya yang aktif.
Untuk itu, ICANN perlu melihat ada website yang berbasis aksara-aksara Nusantara yang hidup, karena dihidupkan oleh pendukung budayanya secara aktif. Salah satu cara yang efektif dan relatif cepat adalah mengadakan sayembara pembuatan website untuk masing-masing aksara. Sayembara ini juga berfungsi untuk menguji apakah benar ada pendukung budaya yang aktif bagi masing-masing aksara tersebut.
Sejauh ini PANDI telah bekerja sama dengan Keraton Jogja untuk aksara Jawa, Universitas Udayana untuk aksara Bali, Universitas Padjadjaran untuk aksara Sunda, PBNU untuk aksara Arab Pegon yang digunakan di pesantren, dan yang terbaru dengan Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara untuk aksara Lontara.
“Bagi saya, ini kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kita ada, budaya kita ada, aksara kita ada, alive and kicking. Caranya, ayo ikuti sayembara pembuatan website berbasis aksara nusantara, yang sedang atau segera akan diluncurkan,” ujarnya.
Andi mengimbau komunitas-komunitas berbasis adat, daerah, kampus, kampung, kelompok, minat, untuk menunjukkan jati diri. “Ikuti sayembara ini, dengan menggalang anak-anak muda kreatif dan kearifan lokal budaya kita masing-masing.”
“Khusus untuk saudara-saudaraku, salessurengku, siribattangku, pendukung budaya aksara Lontara, yang ada di Sulawesi, atau di mana pun berada, ayo, jangan kita ketinggalan. Mari kita bikin website berbasis aksara Lontara yang tampilannya menarik, berguna, dan menginspirasi,” ujar Andi.