TEMPO.CO, Jakarta - Potensi propolis sebagai obat alternatif tukak lambung (kanker lambung) yang disebabkan infeksi kuman Helicobacter pylori hanya sebagai pendukung obat antibiotik yang ada. Ini diketahui dari penelitian bertitel Wide Study of Helicobacter pylori dengan peneliti utamanya adalah Neneng Ratnasari dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKKIK) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada penelitian itu, propolis yang digunakan berasal dari lebah jenis Trigona di Sulawesi Selatan. Propolis dari daerah ini diyakini memiliki efek antitukak yang lebih baik dibandingkan propolis dari daerah lainnya. “Sebelum diujikan, propolis tersebut diekstraksi terlebih dahulu menggunakan pelarut etanol 70 persen,” kata Neneng dalam keterangan tertulis, Rabu 16 Desember 2020.
Propolis merupakan getah campuran resin alami yang dibentuk oleh lebah madu dari berbagai substansi tanaman, air liur, dan lilin lebah. Di Indonesia, propelan dikenal luas sebagai obat tradisional untuk beragam manfaat kesehatan, salah satunya sebagai antibakteri.
Selama ini, kombinasi antibiotik seperti klaritromisin dan metronidazole merupakan pengobatan standar untuk pasien-pasien tukak lambung akibat infeksi bakteri H. pylori. Namun di Indonesia, tingkat resistansi terhadap antibiotik ini juga telah diketahui tinggi. "Di sisi lain, tidak mudah menemukan antibiotik baru sebagai pengganti.”
Bakteri H. pylori diidentifikasi melalui pemeriksaan endoskopi lambung pasien-pasien sakit maag di seluruh Indonesia. Khusus untuk riset propolis ini, sampel diambil dari 20 rumah sakit di 6 kota dan 5 pulau di Indonesia. Untuk mengkonfirmasi identitas H. pylori, dilakukan berbagai pemeriksaan mulai dari pemeriksaan bentuk, pewarnaan, hingga reaksi kimia.
Selanjutnya, H. pylori dikultur pada media agar darah hingga mencapai jumlah yang dibutuhkan. Untuk penelitian ini, ada 10 varian genetik H. pylori yang diuji. Kemampuan propolis menghambat pertumbuhan bakteri H. pylori lalu dinilai dengan metode difusi cakram.
Setiap kertas cakram dilapisi ekstrak propolis dengan konsentrasi berbeda (10 mg/mL, 50 mg/mL, atau 100 mg/mL). Kertas cakram tersebut diletakkan pada permukaan cawan petri yang berisi H. pylori. Setelah 3 hari disimpan dalam inkubator, rata-rata diameter daerah yang jernih di sekitar kertas cakram diukur menggunakan kaliper digital. Daerah jernih itu menunjukkan daerah bebas bakteri H. pylori.
Hasil dari penelitian ini, kata Neneng yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi-hepatologi, menunjukkan konsentrasi propolis sebesar 10 mg/mL belum dapat menghambat pertumbuhan bakteri H. pylori. “Pertumbuhan bakteri mulai dihambat pada konsentrasi propolis 50 mg/mL dengan rata-rata diameter daerah bebas kuman seluas 7,95 mm,” katanya.
Pada konsentrasi propolis 100 mg/mL, hasil pengukuran rata-rata diameter daerah bebas bakteri mencapai 8,89 mm. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi propolis yang digunakan, semakin luas diameter daerah bebas bakteri. Artinya, semakin banyak bakteri yang dihambat pertumbuhannya.
Baca juga:
Senyawa Propolis Indonesia Bisa Jadi Obat Alternatif Virus Corona
Jika dibandingkan dengan standar, angka ini tergolong rendah karena suatu antibakteri dikatakan sensitif terhadap H. pylori apabila mampu menghambat pertumbuhan bakteri seluas ≥ 12 mm. Namun, konsentrasi propolis dalam penelitian ini belum terstandardisasi, sehingga peneliti melakukan pemeriksaan pengenceran kaldu untuk memastikan konsentrasi minimum propolis sebagai antimikroba.
Menurut Neneng, pemeriksaan ini menggunakan ekstrak propolis dengan beragam konsentrasi. Tujuannya adalah memastikan konsentrasi minimum yang dibutuhkan dalam menghambat pertumbuhan bakteri (konsentrasi hambat minimum/KHM). “Semakin rendah nilai konsentrasi hambat minimum, semakin baik efek antimikrobanya,” tutur Neneng.