TEMPO.CO, Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merancang sistem peringatan dini baru untuk tsunami. Sistem yang dinamakan peringatan dini tsunami non tektonik (inaTNT) itu berbasis pemantauan muka air laut. “Sehingga diharapkan deteksi dini ini dapat menjadi peringatan di pantai,” kata Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Sabtu 19 Juni 2021.
Data pemantauan pasang surut air laut berasal dari alat yang dipasang Badan Informasi Geospasial (BIG). BMKG menurut Daryono bisa mengakses data realtime dari jaringan alat itu. “Meskipun stasiun Tide Gauge dikelola oleh BIG tetapi terhubung secara realtime di ruang operasional InaTEWS room BMKG,” ujarnya, .
Prosedurnya, menurut Daryono, setiap petugas Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) BMKG diminta selalu siaga memantau data muka air laut itu setiap kali didapati ada sinyal seismik atau gempa. Data kondisi pasang surut air laut itu, Daryono menjelaskan, masih bisa memberi peringatan bagi pantai yang jaraknya lebih jauh dari sumber gempa.
“Sehingga informasi terkait tsunami akibat gempa tektonik dan non tektonik atau non seismik dapat diinformasikan secara cepat sebagai peringatan dini,” kata dia.
Sebelumnya, saat gempa 6,0 M mengguncang Pulau Seram di Maluku Tengah, Rabu 16 Juni 2021, sistem peringatan dini BMKG keliru menyatakan nihil potensi tsunami. Nyatanya, beberapa menit dari kejadian gempa itu, tsunami datang sekalipun yang tertinggi hanya setengah meter. Belakangan diketahui diduga disebabkan longsoran pantai.
Adapun pusat gempa hari itu berada di perbatasan pantai dan laut di Teluk Taluti. Petugas BMKG setempat yang menemukan bukti longsoran di pantai daerah Tehoru pascagempa yang diduga menyebabkan tsunami. “Kami baru mengidentifikasi teluk-teluk yang memiliki jalur sumber gempa aktif di wilayah Indonesia,” kata Daryono menerangkan penemuan itu.
Peneliti gempa dari Pusat Vulaknologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Supartoyo, mengatakan bisa menerima bukti dugaan penyebab tsunami yang disodorkan BMKG itu. Sebelumnya PVMBG menganalisis tsunami dipicu longsor tebing di dasar laut, dekat pusat gempa.
Peta lokasi pusat gempa bumi 6,1 Magnitudo, kemudian diperbarui menjadi 6,0, di Seram, Maluku Tengah, Rabu siang 16 Juni 2021. Gempa ini diketahui memicu tsunami non tektonik, yakni karena longsor bawah laut. (ANTARA/HO.BMKG)
“PVMBG setuju bahwa tsunami di Teluk Toheru diakibatkan oleh longsor yang dipicu guncangan gempa,” ujarnya, Ahad 20 Juni 2021. Namun, dia menambahkan, perlu dicari tahu lagi soal jumlah titik yang longsor ke laut.
Dia membandingkan dengan gempa di Teluk Palu 2018 di mana ditemukan banyak lokasi longsor di pantai dan di bawah laut. Sebelumnya kejadian tsunami akibat longsor juga pernah terjadi di Desa Pela, Pulau Buru, akibat gempa bermagnitudo 6,7. “Ciri tsunami akibat longsor 1 titik, biasanya tsunaminya lokal,” kata Supartoyo.
Baca juga:
Kapal Selam Kembaran KRI Nanggala Jalani Overhaul di PT PAL