TEMPO.CO, Bandung - Hujan masih sering terjadi di wilayah barat Indonesia, yaitu Jawa dan Sumatera sejak awal Juni 2021, yang biasanya masuk musim kemarau.
Penyebabnya, menurut Erma Yulihastin, peneliti klimatologi di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, karena pengaruh dinamika laut dan atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia.
“Dinamika ini ditunjukkan dari pembentukan pusat tekanan rendah berupa pusaran angin yang dinamakan dengan vorteks di selatan ekuator dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa,” katanya lewat keterangan tertulis, Selasa, 22 Juni 2021.
Pembentukan vorteks di Samudera Hindia yang sangat intensif sejak awal Juni ini diprediksi bertahan sepanjang periode musim kemarau. Kondisi itu berpotensi menimbulkan anomali musim kemarau yang cenderung basah sepanjang Juli-Oktober 2021.
Selain itu prediksi pembentukan Dipole Mode negatif di Samudera Hindia memperkuat potensi fase kemarau basah di wilayah barat Indonesia. Dipole Mode, menurut Erma, ditandai dengan penghangatan suhu permukaan laut di Samudera Hindia dekat Sumatera.
Sebaliknya di wilayah dekat Afrika, terjadi pendinginan suhu permukaan laut. Kondisi ini mengakibatkan pemusatan aktivitas awan dan hujan terjadi di Samudera Hindia barat Sumatera. “Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia,” ujar Erma.
Eksistensi vorteks dan penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia diprediksi akan terus berlangsung hingga Oktober. Gabungan vorteks dan anomali suhu permukaan laut lokal ini merupakan faktor pembangkit yang menyebabkan anomali musim kemarau cenderung basah pada tahun ini. Daerahnya, kata Erma, meliputi Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi, dan Halmahera.
Baca:
BMKG Peringatkan Potensi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Sejumlah Provinsi