TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden soal Nilai Ekonomi Karbon sebelum bertolak ke Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. Sebelum sampai ke KTT Iklim, Jokowi singgah dulu di Roma, Italia, untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) G20.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia Sarwono Kusumaatmadja membenarkan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang ditandatangani pada Jumat, 29 Oktober 2021 tersebut. "Dengan langkah di atas dan posisi Indonesia sebagai Ketua G20, Indonesia bisa berposisi dan punya peran bagus (di COP26)," kata Sarwono, Sabtu 30 Oktober 2021.
Peraturan presiden soal Nilai Ekonomi Karbon ini sudah disiapkan setidaknya sejak tahun lalu. Peraturan itu antara lain akan mengatur mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon. Perpres ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, yaitu sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
Dalam wawancara kepada Tempo Selasa, 26 Oktober 2021, Sarwono mengungkapkan bahwa salah satu yang akan disampaikan Indonesia dalam COP26 adalah soal pendanaan karbon. Ini merupakan salah satu komitmen dari Perjanjian Paris bahwa negara maju akan menyediakan dana sekitar 100 miliar US dollar per tahun pada 2020 untuk membantu negara berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Di dalam negeri, kata Sarwono, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah kebijakan pendanaan untuk menekan emisi, yaitu pajak karbon dan perdagangan karbon. Salah satu prinsip penting dari kebijakan itu adalah mengenakan pajak karbon bagi aktivitas yang menghasilkan karbon dan memberi insentif pada aktivitas yang hemat karbon.
Untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris, Indonesia sudah menyampaikan pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCC pada 22 Juli 2021 lalu. Namun secara umum NDC Indonesia ini tak berubah dari sebelumnya, yaitu tetap soal komposisi 29 dan 41 persen itu.
Yang membedakan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan, Indonesia kali ini menyertakan dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). Dalam dokumen ini Indonesia menyatakan komitmennya untuk zero emisi paling lambat pada 2060.
"Di situ menunjukkan bagaimana kita berambisi mengatasi untuk melangkah dalam mengatasi perubahan iklim di Indonesia," katanya dalam acara Festival Iklim di Jakarta, 17 Oktober 2021.
Baca juga:
Urusan Perubahan Iklim, Dubes Inggris Sebut Indonesia Superpower
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.