Lucia Rizka Andalusia
Sebagai direktur registrasi obat dan kemudian direktur standardisasi obat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ia mendapat tugas menjadi inspektur pelaksanaan uji klinis CoronaVac, vaksin Covid-19 bikinan Sinovac Biotech, perusahaan biofarma Cina. Pengadaan vaksinnya ditangani PT Bio Farma dan uji klinisnya digelar tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dengan angka kasus infeksi yang terus bertambah, pemerintah ingin proses uji klinis dipercepat. Saat pengujian dimulai pada 11 Agustus 2020, jumlah infeksi di Indonesia sudah menembus 37 ribu dengan lebih dari 5.000 kematian.Uji klinis ditargetkan rampung pada akh ir Desember 2020 agar vaksin bisa dipakai pada Januari 2021.
BPOM juga memperpendek masa pemeriksaan hasil uji klinis, dari 150 hari di masa normal menjadi 20 hari pada saat pandemi. “Tidak ada akhir pekan, tidak ada libur,” kata Lucia dalam wawancara pada Senin, 13 Desember lalu.
BPOM, kata Lucia, juga mencatat hal lain dalam pelaksanaan uji klinis. Salah satunya kendala dalam teknik pemeriksaan antibodi netralisasi. Pemeriksaan ini bertujuan mengecek apakah antibodi yang terbentuk itu untuk SARS-CoV-2 atau tidak.
Kendala lain adalah terbatasnya lembaga yang bisa memeriksa hasil uji klinis, dari tes reaksi berantai polimerase (PCR) hingga antibodi netralisasi tersebut. Juga ada kesulitan dalam mendapatkan reagen, bahan kimia yang dibutuhkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 di sampel.
Sebagai inspektur, Lucia mendapati pula masalah dalam pemasukan data dan keterlambatan pemeriksaan. Relawan biasanya menjalani pemeriksaan kesehatan dulu dan dites PCR sebelum disuntik dengan vaksin Sinovac, yang saat itu didatangkan Bio Farma dari Cina sebanyak 2.400 dosis.
“Kadang ada yang terlewatkan. Ada juga soal salah input data. Soal itu segera dikoreksi. Alhamdulillah, tidak ada yang kritis,” ucapnya.
Pelaksanaan uji klinis akhirnya sesuai dengan rencana. Hasil uji klinis selama tiga bulan itu diserahkan ke PT Bio Farma, yang kemudian menyampaikannya ke BPOM. Kesimpulannya, vaksin tersebut aman dengan tingkat efikasi 65,3 persen.
Lucia Rizka Andalusia di kantor BPOM, Jakarta. Dokumentasi Pribadi
Meski tergolong kecil, angka itu masih di atas ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu minimal 50 persen. BPOM lantas menyetujui penggunaan vaksin itu dalam kondisi darurat pada 11 Januari 2021. Suntikan pertama vaksin Sinovac diberikan pada 13 Januari 2021 kepada Presiden Jokowi.