Novalia Pisesha
Nama Novalia Pisesha mulai dikenal publik pada awal September lalu. Saat itu makalah ilmiahnya tentang kandidat vaksin Covid-19 yang berbasis protein terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Dia adalah peneliti junior di Society of Fellows, Harvard University, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.
Dalam wawancaranya dengan Tempo, Kamis, 9 Desember lalu, Novalia menjelaskan kelebihan vaksin yang dikembangkan ini yang bisa lebih spesifik menyasar sel-sel penyaji antigen (APC). APC adalah sel-sel yang secara khusus membantu melawan zat asing yang menginvasi tubuh. Novalia mengklaim vaksin ini sangat efektif untuk memicu kekebalan tubuh terhadap SARS-CoV-2 dan berbagai variannya.
Perempuan asal Singosari, Jawa Timur, ini memulai proyek pembuatan vaksin Covid-19 pada April 2020. Saat itu, ia sedang mengembangkan teknologi nanobody (fragmen antibodi) untuk mengendalikan penyakit autoimun. Teknologi yang pada dasarnya memanipulasi imun manusia ini juga dapat dikembangkan untuk membuat pelbagai vaksin, seperti vaksin malaria. “Ketika ada Covid-19 jadi dikembangkan untuk vaksin penyakit itu,” ucapnya.
Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini memang dikenal sebagai inovator dalam teknologi nanobody. Pada akhir Oktober lalu, namanya masuk daftar 35 inovator Asia-Pasifik berusia di bawah 35 tahun versi MIT Technology Review, karena mempelopori penggunaan teknologi nanobody untuk perawatan penyakit autoimun.
Vaksin Covid-19 yang diramu oleh Novalia masih dalam tahap uji praklinis menggunakan hewan laboratorium kecil. Ia sedang menjajaki kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB University) yang memiliki Pusat Studi Satwa Primata untuk melanjutkan tahap uji praklinis fase kedua memakai hewan besar.
Menurut Novalia, vaksin ini sangat memungkinkan diproduksi massal di Indonesia karena menggunakan teknologi manufaktur berbasis protein yang, menurutnya, telah cukup mapan di Tanah Air. Ia memprediksi keberadaan vaksin Covid-19 berbasis protein sebagai penguat akan sangat diperlukan untuk melengkapi vaksin yang telah ada, yang tak berbasis protein.
Novalia Pishesha. Foto: Rhogerry Deshycka
Novalia berpegang pada sejumlah penelitian yang menunjukkan vaksin penguat silang menunjukkan efikasi yang lebih baik daripada vaksin homogen.
Novalia juga tidak menutup kemungkinan mengembangkan vaksin lebih lanjut di negara lain. Menurut dia, timnya saat ini sedang berkejaran dengan waktu sehingga negara mana pun yang lebih siap untuk menjadi tempat pengembangan lebih lanjut akan diprioritaskan.