Carina Citra Dewi Joe
Dalam penciptaan vaksin AstraZeneca, atau yang dikenal juga sebagai vaksin Oxford, Carina Joe berperan pada tahap manufaktur. Ia bertanggung jawab menemukan formula agar bibit vaksin yang dikembangkan oleh tim di The Jenner Institute Laboratories, University of Oxford, Inggris, itu dapat dibuat dalam skala produksi atau skala besar.
Carina menemukan formula “dua sendok makan sel” pada 15 Januari 2020 yang memungkinkan produksi vaksin sepuluh kali lebih banyak dengan hanya menggunakan sel sekitar dua sendok makan (30 mililiter). Ramuan tangan peneliti berusia 32 tahun asal Jakarta ini turut membawa vaksin yang dimasukkan WHO ke dalam program vaksinasi darurat pada Februari 2021 itu menjadi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
Menurut data Covid Vaccinations Tracker yang dikembangkan The New York Times, vaksin AstraZeneca digunakan oleh 183 negara, termasuk Indonesia, dengan jumlah dosis mendekati 3,2 miliar. Vaksin ini juga menjadi vaksin yang paling banyak diproduksi di luar negara asalnya, dengan lokasi produksi mencakup lima benua.
Carina menjadi salah satu nama yang mengantongi hak paten khusus untuk produksi vaksin berplatform vektor adenovirus tersebut. Mengikuti kebijakan University of Oxford, ia tidak mengambil royalti atas paten tersebut selama masa pandemi. Banyak penghargaan diterimanya bersama segenap ilmuwan di balik vaksin AstraZeneca. Yang terbaru, Carina mewakili tim vaksin Oxford menerima Pride of Britain Awards kategori Special Recognition pada Sabtu, 31 Oktober lalu.
Namun, kerja belum putus. Menurut Carina, semua perusahaan farmasi global saat ini tengah menunggu apakah produksi vaksin varian baru diperlukan menyusul kemunculan SARS-CoV-2 varian Omicron. Varian baru ini diketahui menurunkan efikasi vaksin yang ada saat ini.
“Penurunannya pada aspek transmisi, yang menyebabkan cepat menyebar meski sudah divaksin. Tapi untuk aspek mencegah rawat inap dan pemberatan gejala masih di atas 75 persen,” katanya tentang efikasi vaksin AstraZeneca versus Omicron.
Kalaupun kebutuhan vaksin baru untuk mencegah kematian dan rawat inap makin tinggi, vaksin-vaksin baru akan dikembangkan hingga siap dimanufaktur. Ia mengatakan tak perlu menunggu lama untuk menciptakan vaksin varian baru ketika purwarupa sudah ada. “Tinggal ganti genomic sequencing-nya menurut varian baru,” ujarnya.
Jika diperlukan, Carina optimistis hanya membutuhkan waktu 1-2 bulan untuk mengembangkan vaksin varian baru hingga siap untuk uji klinis. Carina yang mendapatkan gelar doktor bidang bioteknologi di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, ini telah menemukan cara untuk memproduksi satu miliar dosis dalam waktu 100 hari.
Carina Citra Dewi Joe. Facebook
Cara tersebut ia beberkan dalam makalah ilmiah yang itu telah dikirimkan ke BioRxiv dan jurnal ilmiah serta dipublikasikan di situs web The Jenner Institute, pada 21 Desember lalu.
Dalam kondisi darurat, ia optimistis vaksin varian baru ini akan siap dipakai dalam jangka waktu setahun sejak memasuki uji klinis. Vaksin varian baru ini, tutur dia, akan berlaku sebagai penguat. Vaksin ini pun akan bersifat universal, yang dapat memproteksi pengguna dari varian virus baru ataupun lama.