Apa kata BMKG dan BMKG Dunia?
Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO), Petteri Taalas, mengkonfirmasi bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia. Di peringatan Hari Meterorologi Dunia tahun ini, WMO mencanangkan tema 'Early Warning and Early Action'.
"Gelombang panas dan kekeringan serta kebakaran hutan yang lebih intens. Kita memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. Lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya," katanya.
Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian - atau 115 per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir, dan biaya ekonomi melonjak. Hal itu diperkirakan masih akan terus berlanjut.
Senada, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan perubahan iklim menjadi faktor penguat mengapa cuaca ekstrem makin sering terjadi di Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.
Situasi ekstrem ini, kata dia, ketika bertemu dengan kerentanan lingkungan, tidak jarang mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor serta kebakaran lahan. Perubahan iklim pulalah yang memporakporandakan keteraturan iklim dan cuaca di Indonesia, dan berdampak serius pada keberlanjutan sektor pertanian dan perikanan, yang dapat berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut Dwikorita, sejak 2011 BMKG telah melakukan secara rutin dan berkelanjutan Sekolah Lapang Iklim. Tujuannya, memberikan pemahaman dan kemampuan bagi petani dan nelayan dalam membaca cuaca dan iklim, serta beradaptasi secara tepat untuk meningkatkan produksi panen dan tangkapan ikannya.
Menurutnya, sudah lebih dari 22.600 petani dan nelayan dari berbagai penjuru tanah air telah dilatih dan diberdayakan. "Kami mengundang berbagai pihak untuk kolaborasi, demi mewujudkan 1 juta petani dan 1 juta nelayan per tahun yang semakin produktif, andal dan berketahanan iklim serta tangguh bencana," kata dia.
Dwikorita menuturkan, untuk menekan laju perubahan iklim, perlu aksi kolaboratif dan kolektif dalam perencanaan yang tepat di setiap program pembangunan, yang disertai dengan penyiapan tata ruang yang berwawasan lingkungan serta berketahanan terhadap perubahan iklim dan bencana.
Strategi itu kemudian masih perlu didukung oleh upaya adaptasi dan inovasi teknologi berbasis pemberdayaan masyarakat. "Kolaborasi pentahelix (pemerintah, akademisi/ilmuwan, pihak swasta, masyarakat dan media), menjadi kunci solusi dalam menghadapi seluruh kompleksitas dan ketidak pastian tersebut," katanya sambil menambahkan sistem peringatan dini pun perlu terus diperkuat dengan panduan edukatif untuk memberikan kemampuan masyarakat agar dapat merespons dengan aksi dini yang cepat dan tepat.