Pesawat itu bukan sedang memecahkan rekor terbang terlama di benua tak berpenghuni tersebut. Kedua pesawat milik proyek Antarctica's Gamburtsev Province (AGAP) itu tengah memindai Gamburtsev, pegunungan terakhir di bumi yang belum dieksplorasi. Di sayapnya terpasang beberapa sensor, dari radar penembus es, gravimeter, sampai sensor magnetik.
"Ketika dua pesawat survei itu terbang di atas dataran es putih, instrumentasinya mengungkapkan lanskap yang penuh lembah yang curam dan puncak pegunungan yang amat terjal," kata Michael Studinger, salah satu ketua tim Amerika Serikat dalam proyek AGAP, akhir Februari lalu.
Berkat hasil survei aerogeofisika itu, ditambah jaringan instrumen seismik yang dipasang di atas kawasan seluas Texas, tim ilmuwan gabungan dari tujuh negara berhasil memverifikasi barisan pegunungan yang diperkirakan sebagai penyebab terbentuknya Lapisan es Antartika Timur yang amat luas. Mereka juga menciptakan citra mendetail lanskap berkontur pegunungan yang terkubur 4.000 meter di bawah lapisan es di kutub utara.
Studinger menyatakan, tim gabungan dari Amerika, Australia, Cina, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada itu harus bekerja ekstrakeras untuk menghasilkan gambar Gamburtsev secara detail. "Kami bekerja dalam kondisi terkeras yang bisa dibayangkan manusia, temperatur rata-rata di sana mencapai minus 30 derajat Celsius," kata Studinger, ilmuwan dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University, Amerika.
Seismologis yang tergabung dalam tim itu harus terbang ke 26 lokasi berbeda di kawasan yang jauh lebih besar dibandingkan negara bagian Texas itu menaiki pesawat Twin Otter yang telah dilengkapi ski. Mereka memasang peralatan ilmiah bertenaga surya dan baterai yang akan mencatat getaran seismik di daerah itu selama setahun ke depan.
Dalam survei itu, tim seismologi yang berasal dari Washington University, Penn State, IRIS, dan National Institute of Polar Research Jepang menemukan 10 seismograf yang telah mencatat data musim dingin Antartika yang gelap tahun lalu ketika temperaturnya mencapai minus 73 derajat Celsius. "Musim itu adalah sebuah kesuksesan besar," kata Douglas Wiens dari Washington University di St. Louis, Amerika. "Kami menemukan catatan seismik yang pertama dari seluruh bagian Antartika dan mengoperasikan seismograf yang merekam seluruh musim dingin Antartika pada temperatur serendah itu untuk pertama kalinya.
Wiens mengatakan, meski survei lapangan telah usai, tugas mereka masih menumpuk. Mereka harus mempelajari dengan teliti data itu untuk mengetahui apa yang bertanggung jawab atas tumbuhnya pegunungan di tengah Antartika. Selama ini para ilmuwan menganggap Gamburtsev sebagai pegunungan misterius karena pola geologinya bertentangan dengan pegunungan lain yang umumnya berada di tepi kontinen atau perbatasan lempeng tektonik.
Penemuan awal proyek AGAP yang amat menarik itu juga membangkitkan pertanyaan tentang peran Gamburtsev dalam melahirkan lapisan es Antartika Timur, yang membentang lebih dari 10 juta kilometer persegi di atas lapisan batuan Antartika, kata Fausto Ferraccioli, geofisikawan dari British Antarctic Survey (BAS), yang mengepalai tim sains Inggris. "Kini kami mengetahui bahwa pegunungan itu tak sekadar sebesar Alpen, tetapi juga mempunyai lembah dan puncak yang serupa," kata Ferraccioli.
Sekalipun penelitian yang sebagian disponsori oleh National Science Foundation ini menyingkap gambaran Gamburtsev lebih mendalam, informasi tersebut justru menambah misteri tentang bagaimana Lapisan es Antartika Timur terbentuk. "Jika lapisan es tumbuh perlahan seharusnya kita melihat akan tergerus erosi menjadi berbentuk dataran tinggi," kata Ferraccioli. "Tetapi, keberadaan puncak dan lembah mengindikasikan bahwa lapisan es terbentuk dengan cepat. Kami tak tahu apa yang terjadi. Tantangan terbesar kami sekarang adalah terus menggali data sehingga dapat memahami apa yang terjadi jutaan tahun lampau."
Untuk mengorek masa lalu Antartika Timur itu, survei selama dua setengah bulan dilakukan di atas lapisan es seluas lebih dari 2 juta kilometer. Data awal ini juga mengonfirmasi penemuan sebelumnya yang memperkirakan adanya sistem akuatik besar yang terdiri atas danau dan sungai di bawah lapisan es Antartika, sebuah benua yang luasnya setara Amerika Serikat dan Meksiko digabungkan menjadi satu.
"Temperatur di kamp kami memang berkisar sekitar minus 30 derajat Celsius, tetapi 3 kilometer di bawah kami, di dasar lapisan es itu, kami melihat air likuid di dalam lembah," kata Robin Bell, ketua tim Amerika lainnya. "Radar yang terpasang di sayap pesawat memancarkan energi yang dapat menembus es tebal sehingga kami mengetahui bahwa di dasar lapisan es suhunya jauh lebih hangat."
Data AGAP juga membantu para peneliti mengetahui asal-muasal lapisan es Antartika Timur dan peran Gamburtsev di dalamnya. Peluang pun terbuka untuk memahami peran sistem akuatik subglacial yang bermain dalam dinamika lapisan es, yang pada akhirnya membantu mengurangi ketidakpastian ilmiah dalam memprediksi potensi kenaikan muka air laut di masa depan.
Laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa mereka kesulitan memprediksi berapa banyak kontribusi lapisan es Greenland an Antarctica terhadap kenaikan muka air laut karena amat sedikit yang diketahui tentang perilaku lapisan es.
Para ilmuwan juga bisa menggunakan data itu untuk menentukan lokasi es tertua di dunia. "Kami tengah memburu es yang usianya jauh lebih tua daripada 1,2 juta tahun," kata Bell. "Terkunci di dalam es purba ini, catatan mendetail tentang perubahan iklim di masa lalu yang akan memandu pembuatan prediksi di masa depan."
TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY | BAS | NSF |