TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyoroti kisah getir mahasiswa UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), Nur Riska Fitri Aningsih, yang berjuang mendapatkan keringanan uang kuliah tunggal (UKT) hingga akhirnya meninggal. Kematian Nur Riska akibat hipertensi berat terjadi pada Maret 2022.
Kisah mahasiswa angkatan 2020 Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY itu viral setelah dibagikan teman yang juga kakak angkatannya di media sosial. Cerita nasib Nur Risk diunggah pada 11 Januari 2023 lalu, atau hampir setahun pascakematian Riska.
"Kalau sampai ada mahasiswa yang (kesulitan biaya) seperti ini seharusnya diantisipasi, kami sungguh prihatin, jangan sampai terulang lagi," kata Sekretaris DI Yogyakarta, Baskara Aji, Jumat 13 Januari 2023.
Aji pun meminta jika ada yang menemukan kasus seperti yang dialami Riska, lingkungan sekitarnya baik teman, orang tua, dosen, hingga kampus juga tak tutup mata. Bantuan, dia menambahkan, juga bisa dengan cara mengkomunikasikan kesulitan yang dihadapi yang bersangkutan, "Entah bersurat atau cara lainnya."
Riska semasa kuliah dua semester di UNY harus menghadapi beban UKT sebesar Rp 3,14 juta per semester. Anak penjual sayur keliling, sulung dari tiga bersaudara, itu berusaha mendapat keringanan biaya optimal dari semesterannya namun tak kunjung berhasil hingga ajal menjemput.
"Biaya UKT di UNY kan dari Rp 500 ribu sampai Rp 6 juta, kalau dia benar-benar tidak mampu bisa saja digratiskan, yang seperti ini harus diantisipasi," kata Aji sambil menambahkan, "Wong mahasiswa korban gempa Cianjur yang kuliah di Yogya saja kita bantu, jadi kasus seperti ini semestinya segera dikomunikasikan ke kampus."
Dalam cerita yang diunggah, Nur Riska sudah berusaha berulang kali menemui pimpinan kampus dan malah dihadapkan birokrasi yang ruwet. Nur Riska dikisahkan diping-pong ke sana ke mari.
Nur Riska Fitri Aningsih, mahasiswa UNY yang meninggal dunia pada 9 Maret 2022 silam di tengah perjuangannya mendapatkan keringanan biaya semesteran. Dok. FIS UNY
"Kalau benar begitu, itu tanggungjawab rektor dan lingkungannya untuk mencari kebenaran informasi itu, sehingga ditemukan solusinya dan tak terulang ke mahasiswa lain," kata Aji menjawabnya.
Aji mengatakan Pemda DIY sebenarnya tiga tahun silam memiliki program alokasi beasiswa untuk para mahasiswa tak mampu yang kuliah di Yogyakarta. Namun program itu lantas dialihkan karena perubahan kebijakan pemerintah pusat saat itu yang meminta pemerintah provinsi agar fokus menangani jenjang sekolah menengah atas atau SMA.
Sedangkan urusan kampus ditarik sepenuhnya menjadi kebijakan pusat. "Program bantuan bagi mahasiswa ini bisa saja kami aktifkan kembali melalui dinas pendidikan, kami akan analisa kebutuhan dan regulasinya, sehingga untuk mahasiswa tidak mampu tetap bisa dibantu melalui anggaran daerah," kata dia.
Jika program bantuan dari daerah untuk mahasiswa tak mampu ini bisa diaktifkan lagi, ujar Aji, mekanisme distribusinya bisa seperti yang pernah dilakukan sebelum kewenangan itu ditarik pusat.
"Jadi masing- masing kampus kami berikan alokasi sesuai prioritas, karena di tiap kampus kan sudah ada beasiswa, baik dari pemerintah pusat, kampus sendiri, perusahaan dan pemerintah daerah," kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.