TEMPO.CO, Jakarta - Bagi umat muslim, menjalani ibadah puasa Ramadan di negeri orang pastinya memiliki tantangan tersendiri. Mahasiswa asal Indonesia yang berkuliah di Rusia, Rahmat Syahid Suraya, menceritakan pengalamannya berpuasa di negara yang sedang berkonflik dengan Ukraina itu.
Rahmat merupakan kandidat doktor program Political Sciences and Area Studies di Ural Federal University. Kampusnya terletak di Yekaterinburg, kota yang berada di perbatasan Eropa dan Asia. Di kota tersebut, iklimnya lebih dingin dari ibu kota Rusia, Moskow karena terletak di bentang pegunungan Ural.
Rahmat becerita, waktu berpuasa di sana sekitar 16 jam. Ia biasa sahur pukul 3 pagi. Waktu imsak atau mendekati Subuh dimulai sekitar pukul 4.30 pagi dan saat berbuka puasa Magrib pukul 19.30. Menurut dia, waktu sahur buka puasa di Yekaterinburg maju empat menit setiap harinya.
“Di Yekaterinburg itu setiap hari maju empat menit. Jadi, majunya empat menit dan waktu berbukanya mundur empat menit. Apalagi musimnya kan musim semi, itu akan mundur terus sampai musim panas. Magrib bisa jam 22 atau 22.30 malam. Dan jam 3 pagi itu sudah sunrise," katanya kepada Tempo.
Jarak Masjid yang Jauh hingga Sulit Mencari Makanan Halal
Tak hanya waktu puasa yang panjang, sulitnya mencari makanan halal juga menjadi tantangan sendiri bagi Rahmat. Di kota Rahmat tinggal, makanan halal jarang ditemui. “Makanan halal juga sedikit. Karena di sini juga ada sertifikasi dan itu yang bikin mahal," ujarnya.
Makanan halal biasa dia temukan di mall dan supermarket. Ada juga yang berjualan daging ayam dengan logo halal. Untuk daging sapi, Rahmat memilih membeli dari penjual asal negara-negara mayoritas muslim seperti Tajikistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.
Makanan pokok yang biasanya disajikan di sana adalah plov, hidangan nasi dengan daging. Selain plov, Rahmat terkadang menggabungkan nasi dengan grechka, yaitu gandum yang dimasak. “Biasanya di mall ada tempat sendiri. Itu yang buat muslim, jadi ada logo halalnya,” ujarnya.
Di Rusia, kata Rahmat, tak seperti di Indonesia yang masyarakatnya banyak berjualan takjil menjelang berbuka. Dia biasanya menyiapkan makanan sendiri atau berbuka di masjid yang menyediakan takjil. Namun, tak banyak masjid di Yekaterinburg.
“Di daerah dekat kampus saya, masjidnya jauh. Kalau mau jalan kaki sekitar 48 menit, hampir satu jam. Kalau naik transportasi bus, itu akan berhenti di terminal terdekat tapi harus jalan lagi 10 menit,” katanya.
Di masjid tersebut, salat tarawih dilakukan 20 rakaat. Dimulai pukul 21.30, salat tarawih di sana bisa selesai pada tengah malam sekitar pukul 1.30. “Tarawihnya bisa sampai jam 12 malam lewat karena 20 rakaat dan panjang-panjang surahnya. Jadi, kadang-kadang mahasiswa yang datang ke masjid itu cuma buat buka puasa,” ucapnya.
Meski begitu, masjid tetap ramai dikunjungi. Hal ini karena masjid yang biasa Rahmat datangi merupakan satu-satunya masjid dalam radius lima kilometer di distrik Kirovsky.
Rahmat menyebut bahwa di kampusnya tidak ada tempat khusus untuk beribadah. Terkadang, dia harus berjalan 10 menit dari kampus ke asrama untuk salat atau menggabungkan salat sebelum ke kampus. “Jadi, kadang saya jamak salatnya. Misalnya saya ke kampusnya siang, saya jamak sekalian Asar,” ungkapnya.
Menurut Rahmat, banyak tantangan muslim di Rusia untuk menjalankan ibadah puasa. “Di sini banyak alasan untuk enggak usah beribadah. Enggak ada takjil dan lainnya. Lingkungannya enggak ada bedanya antara puasa sama tidak. Jadi, kuat-kuatin prinsip saja,” tuturnya.