TEMPO.CO, Jakarta - Marak kasus catcalling di media sosial, membuat sejumlah orang bersembunyi di balik guyonan. Padahal, tanpa disadari, perlakuan tersebut dapat menyakiti hati korban dan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan mental mereka.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Airlangga (Unair) Myrtati Dyah Artaria memberikan pandangan terkait batasan dalam catcalling. Hal itu perlu dilakukan agar ke depannya tidak ada lagi orang-orang yang dengan sengaja melakukan catcalling dan menyakiti psikis orang lain.
Menurut Myrtati, catcalling sesuai dengan definisinya adalah pelecehan seksual di ruang publik dengan memberikan kata-kata tidak senonoh kepada korban. Catcalling itu sendiri dapat berupa kata-kata, decakan, atau suitan. Yang mana hal-hal tersebut bernuansa seksual.
“Jadi, ekspresinya bisa verbal maupun non-verbal,” katanya dilansir dari laman Unair pada Jumat, 5 Mei 2023.
Namun, banyak orang yang terkadang sulit membedakan mana yang termasuk catcalling dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menganggap kata-kata godaan atau panggilan terhadap fisik merupakan sapaan keakraban dan lain-lain.
Bukan hanya itu, ketika kasus catcalling di bawah ke ranah hukum, banyak pelaku yang menjelaskan bahwa semua yang mereka lakukan semata-mata hanya candaan. Namun, mereka lupa bahwa candaan tersebut dapat menyebabkan orang lain tersinggung.
“Menurut saya, orang-orang yang sering bersembunyi di balik kata bercanda sebaiknya jangan menggunakan hal-hal bersifat seksual,” kata Myrtati.
Karena kata-kata yang mereka lontarkan tersebut mengandung unsur sensitif. Dan, tentunya tidak semua orang dapat menerima hal tersebut. Karena itu, penting memperhatikan objek yang dituju. Sehingga orang tersebut tidak merasa mendapatkan pelecehan.
“Cara membedakan catcalling, termasuk pelecehan atau candaan? Itu adalah persepsi masing-masing. Jadi, sebaiknya semua menghindari melakukan catcalling. Karena meskipun dalam candaan, hal itu dapat membuat orang lain merasa direndahkan,” kata Myrtati.
Namun, masih saja di luar sana orang-orang membuat dan mengelompokkan batasan catcalling menurut masing-masing perspektif. Catcalling, kata Myrtati, tidak memiliki batasan sehingga tidak boleh ada negosiasi di dalamnya.
“Catcalling tidak ada batasannya, jadi sebaiknya tidak melakukannya,” sambungnya.
Myrtati memberikan pesan kepada mahasiswa Unair untuk dapat mencegah hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang wajar. “Jangan lagi melakukan candaan bernuansa seksual. Karena masing-masing individu punya pengalaman hidup berbeda-beda. Mungkin juga ada trauma pada masa lalu sehingga kita tidak pernah tau apa akibat dari candaan kita terhadap orang lain,” katanya.
Pilihan Editor: Antisipasi kecurangan UTBK, UPNVJ Minta Pengawas Pantau Masker hingga Ikat Pinggang Peserta