Meski wabah flu babi telah menyebar ke sembilan negara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menganjurkan diberlakukannya larangan bepergian. Sebuah pemodelan komputer menunjukkan mengapa larangan perjalanan udara internasional hanya memberikan efek kecil terhadap kian meluasnya wabah flu.
Ketika strain flu babi H1N1 dengan cepat mewabah di berbagai belahan dunia, tekanan ekonomi yang disebabkan penutupan perbatasan dan anjuran pembatasan perjalanan justru menambah lebih banyak masalah, kata para ilmuwan.
Kasus flu babi positif terjadi di Meksiko, Amerika Serikat, Austria, Kanada, Spanyol, Inggris, Jerman, Israel, dan Selandia Baru. "Menerapkan pembatasan perjalanan yang ketat sama sekali tak ada artinya, terutama pada tahap ini. Itu tak akan membantu," kata Alessandro Vespignani, seorang ilmuwan komputer di University of Indiana di Bloomington, Amerika Serikat. Bersama timnya, Vespignani berusaha memperkirakan penyebaran wabah yang saat ini terjadi.
Emergency Committee WHO mengambil sikap menolak larangan perjalanan dalam sebuah rapat, Senin lalu. "WHO tidak merekomendasikan penutupan perbatasan dan tidak merekomendasikan pembatasan perjalanan," kata Keiji Fukuda, asisten direktur jenderal keamanan kesehatan dan lingkungan WHO.
Tak semua negara mengindahkan imbauan itu. Meski belum ada laporan kasus flu babi di negaranya, Jepang telah menghentikan penerbitan visa bagi warga Meksiko.
Vespignani menyatakan tindakan semacam itu tidak efektif karena wabah flu babi melompat ke seluruh dunia dan berpotensi membutuhkan pembatasan yang kian ketat untuk mencegah para pengunjung yang terinfeksi memasuki negara itu. "Jika keadaan bertambah buruk dalam waktu singkat, Anda harus memutus komunikasi dengan negara lain," katanya. "Mengisolasi suatu negara mustahil dilakukan, kita juga bisa melihat bahwa itu tidak efektif."
Dalam makalahnya pada 2007, tim Vespignani membuat model penyebaran pandemi influenza dalam berbagai tingkat keseriusan di 3.100 pusat kota di 220 negara. Mereka juga meneliti tingkat efektivitas tindakan pencegahan, termasuk vaksinasi, manajemen obat antiviral semisal Tamiflu, dan pembatasan perjalanan.
Penurunan perjalanan udara 10 kali lipat yang amat ketat hanya bisa menunda pandemi beberapa pekan dan tak mempengaruhi dampak kesehatan secara keseluruhan, kata Vespignani. Tindakan lain, terutama penyebaran obat antiviral, terbukti jauh lebih efektif dalam membatasi penyebaran pandemi dalam pemodelan komputer itu.
Studi berbeda yang dipimpin oleh Ben Cooper di Health Protection Agency di London, Inggris, pada 2006, menunjukkan bahwa pembatasan perjalanan harus diterapkan sangat dini dalam sebuah pandemi. Ketika baru beberapa orang di sebuah kota yang terinfeksi, pembatasan perjalanan akan memperlambat penyebaran secara dramatis.
Bahkan, penurunan lalu lintas udara drastis sampai 99,9 persen tak sanggup menghadang virus ini. Pemodelan yang dilakukan oleh Cooper mengindikasikan sebagai besar kota akhirnya akan jatuh dalam pandemi influenza.
Studi lain tentang wabah influenza musiman mendukung gagasan bahwa pembatasan perjalanan memperlambat laju penyebaran penyakit berbahaya itu, tapi tidak menghentikan bencana itu. Pembatasan perjalanan udara yang diberlakukan setelah serangan teroris pada 11 September 2001 telah menunda kedatangan musim flu di Amerika Serikat 2001-2002 sampai dua pekan, tapi dampaknya kecil.
"Namun, bukan berarti semua jenis pembatasan perjalanan akan menghasilkan dampak yang signifikan," kata John Brownstein, epidemiolog di Children's Hospital Boston, Massachusetts, yang mengepalai studi itu.
Para ilmuwan juga berupaya menghitung ongkos ekonomi dari larangan bepergian yang kian meluas untuk menangkal pandemi flu. Pada 2007, sebuah tim yang dipimpin oleh Joshua Epstein dari Brookings Institution di New York memperkirakan bahwa 95 persen penurunan perjalanan udara di Amerika akan menelan biaya sekitar US$ 100 miliar per tahun atau kurang dari 1 persen produk nasional bruto negara itu.
TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY