TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Bunda Mulia (UBM) melakukan kolaborasi riset terkait Ibu Kota Nusantara atau IKN di Kalimantan Timur. Riset dilakukan untuk mengetahui bagaimana komunikasi kepala adat di sana dalam memecahkan konflik budaya terkait pembangunan IKN, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara.
Riset yang dibiayai melalui Program Riset dari Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (RP OR Arbastra) diketuai oleh Tri Margono dari BRIN. Anggotanya, Djoko Puguh Wibowo, Lis Purbandini, Reza Amarta Prayoga yang juga dari BRIN. Sementara dari UBM diwakili oleh dosen-dosen Ilmu Komunikasi yakni Teguh Hidayatul Rachmad, Yohanes Probo Dwi Sasongko, Purnama Ayu Rizky, dan Gerson Ralph Manuel.
Tri mengatakan riset dilatarbelakangi karena munculnya berbagai konflik di lokasi pembangunan IKN. Masyarakat adat suku Balik misalnya, mulai mengkhawatirkan dampak pembangunan IKN akan mengancam ruang hidup mereka. Proyek normalisasi Sungai Sepaku, Penajem Pasir Utara membuat pemakaman leluhur serta Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi, situs ritual bersejarah milik suku Balik tinggal kenangan.
Masyarakat Balik adalah satu dari beberapa masyarakat adat lain yang melakukan penolakan. Sebagian sisanya sebenarnya memberikan dukungan dengan catatan. Tri mengatakan respons publik setempat di lokasi IKN terbelah dua.
Tak jarang perbedaan pendapat itu melahirkan konflik-konflik lain yang lebih runcing. Jika hal itu tak dicari jalan keluar, kata Tri, besar kemungkinan pembangunan IKN yang diniatkan jadi solusi justru membawa masalah baru.
Maka itu Tri dan timnya turun ke lapangan untuk melakukan pendekatan personal terhadap sejumlah warga. Pendalaman emik, kata Tri, menjadi kunci untuk mengetahui peta konflik dari jaringan komunikasi kepala adat IKN di Penajam Paser Utara.
Kesalahan Komunikasi Pemerintah Pusat dan Daerah
Untuk membuat strategi penyelesaian konflik, mereka melakukan wawancara mendalam terhadap ketua adat, organisasi sosial masyarakat, masyarakat terdampak langsung dan langsung, juga pengamat di sekitar.
“Secara garis besar ditemukan titik permasalahan mendasar dalam konflik tersebut. Salah satunya adalah kesalahan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat yang terdampak pembangunan IKN,” ujar Tri dari rilis yang diterima Tempo pada Jumat, 23 Juni lalu.
Hal ini, kata dia, dibuktikan dengan maraknya informasi yang beredar di masyarakat tanpa penjelasan yang memadai. Pun, Tri mengatakan, adanya tindakan pembiaran yang dilakukan oleh sejumlah petugas pemerintah daerah diyakini menjadi salah satu problem yang memicu konflik di wilayah pembangunan IKN.
“Sebagai contoh, tidak adanya informasi yang berimbang dan adanya perbedaan penetapan ganti rugi atas pemanfaatan tanah warga. Akhirnya, berdampak pada kecemburuan sosial yang menghadirkan konflik baru," ujarnya.
Belum lagi, kata Tri, terkait adanya pematokan dan penetapan yang dilakukan petugas lapangan pemerintah daerah di tanah warga tanpa komunikasi memperkeruh keadaan.
"Ini agak disayangkan. Dengan tata kelola dan perencanaan matang, juga komunikasi yang baik, sebenarnya masyarakat adat setempat tak sepenuhnya antipasti dengan proyek ini," katanya.
Bahkan, menurut Tri, masyarakat suku Balik cenderung menerima kehadiran pembangunan IKN di daerahnya. “Sayangnya, kekurangan dalam komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat menyisakan pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti secara inklusif dan menyeluruh,” jelas Teguh, anggota peneliti lainnya.
Tim peneliti menilai proyek IKN perlu mempertimbangkan perbaikan komunikasi antara pemerintah pusat, daerah, dan warga setempat. Sebab, jika tidak justru bisa merusak tatanan masyarakat yang sudah lebih dulu solid di sana.
Riset kolaborasi antara BRIN dan UBM sendiri masih terus dilakukan untuk memperoleh sejumlah temuan baru. Di antaranya adalah menemukan peta dan saluran komunikasi pemahaman bersama agar semua pihak dapat memperoleh jawaban konkret atas konflik tersebut.
Pilihan Editor: Kursi Kosong di Kampus Ini Capai 98 Persen, Baru Terima 2 Orang di SNBT dan SNBP 2023