TEMPO.CO, Makassar - Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Universitas Hasanuddin memperingati 200 Tahun Alfred Russel Wallace di Kota Makassar- Kabupaten Maros, 13-15 Agustus 2023.
Kegiatan tersebut dibagi beberapa rangkaian, mulai dari menelusuri jejak kaki Alfred Wallace di Maros hingga pameran lukisan dan foto-foto satwa endemik di kawasan Wallacea. “Ini menjadi perayaan ilmiah,” ujar Wakil Rektor IV Universitas Hasanuddin, Adi Maulana, Selasa, 15 Agustus 2023.
Ia menjelaskan bahwa kegiatan ini bukanlah semata hanya ada di ruang waktu saja, melainkan juga membayangkan masa depan dalam evolusi dan ilmu hayati, sehingga ada penggabungan pemikiran masa lalu dan yang ada saat ini. Selain itu, menurut Adi, simposium ini juga menjadi forum pertukaran informasi hasil riset bidang biodiversity atau keanekaragaman hayati dan endemisitas di kawasan Wallacea.
Sementara, ketua panitia, Siti Halimah, menambahkan acara ini banyak dihadiri ilmuwan dalam negeri hingga luar negeri, di antaranya peneliti dari Universitas Gajah Mada Pri Utami, Jamaluddin Fitrah Alam dari Universitas Hasanuddin. Dari luar negeri ada Adam Brumm dari Griffith University, David Mitchel dari Australia, dan Matthew Struibig dari Universitas of Kent.
Di samping itu, ucap dia, ada juga sesi diskusi untuk para peserta. Itu dilakukan agar mereka bisa mendalami pemahaman tentang evolusi, keanekaragaman hayati, dan kontribusi Wallace di kawasan Wallacea. “Kami juga mengajak semuanya untuk melakukan penelitian di masa lalu,” tambah Siti.
Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM Pri Utami bercerita tentang energi panas bumi yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Pemerintah sedang berupaya mengejar target energi baru terbarukan sebesar 23 persen tahun 2025. Meskipun tahun 2022, bauran EBT baru mencapai 12,3 persen.
“Sebetulnya banyak alternatif untuk mengejar target itu. Ada energi panas bumi, tenaga surya, angin, dan arus laut,” ucap Pri. “Panas bumi itu investasinya besar.”
Ia mencontohkan untuk mengebor satu sumur saja membutuhkan biaya US$ 10 juta, dan itu belum diketahui, apakah berhasil atau tidak. Namun, jika hal itu berhasil maka lebih unggul ketimbang energi terbarukan lainnya. “Pasokan listriknya kan stabil, tidak memandang apakah cuaca mendung, hujan atau kemarau. Kan alami di bawah tanah,” tambah Pri.
Apalagi, kata dia, energi panas bumi itu tidak mempengaruhi pemanasan global. "Yang mempengaruhi terjadinya pemanasan global adalah gas rumah kaca dari energi fosil. Energi panas bumi hampir enggak ada CO2-nya.”
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.