TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG Daryono mengungkap potensi gempa megathrust yang dapat memicu tsunami di bagian selatan Pulau Jawa. Menurut dia, potensi itu akan terus ada.
"Megathrust akan terus ada, enggak akan berakhir potensi ini," kata Daryono, Jumat, 3 November 2023.
Megathrust adalah daerah pertemuan antar lempeng tektonik bumi di lokasi zona subduksi. Lempeng tektonik bumi yang bisa mencapai ribuan kilometer dan menjadi dasar benua dan samudera itu bisa bertabrakan, meluncur, dan bergerak menjauh satu sama lain.
Terkadang lempeng tersebut bertabrakan satu sama lain atau satu lempeng didorong ke bawah lempeng yang lain di zona subduksi. Dengan kata lain, zona subduksi adalah zona pertemuan lempeng-lempeng tersebut.
Jika sejumlah lempeng tektonik bertemu, maka gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor yang kuat dapat terjadi.
Karena itu, pemerintah memiliki banyak sekali tide gauge (alat pengukur ketinggian level air) yang bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial. Tide gauge itu dipasangkan di selatan pulau Jawa untuk mendeteksi secara dini tsunami apabila terjadi.
"Jadi tide gauge kita ini ada di selatan Jawa. Tapi yang pasti sudah kelilingi dengan tide gauge tersebut untuk konfirmasi potensi semua itu ada," kata Daryono.
Daryono mengatakan tide gauge memudahkan pemerintah daerah yang memiliki warning system bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menentukan status kesiagaan bencana sehingga dapat segera mengevakuasi masyarakat. "Mereka (pemda) punya sirine langsung jadi bisa langsung berkoordinasi dengan BMKG untuk segera menetapkan status kebencanaan sehingga dapat memerintah proses evakuasi ke masyarakat," kata dia.
Adapun hingga saat ini, menurut Daryono, belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan gempa terjadi. Maka, masyarakat perlu mewaspadai potensi gempa, seperti yang terjadi pada gempa Pangandaran magnitudo 7,7 pada 2006 dan gempa Bengkulu magnitudo 8,5 pada 2007.
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Tercatat Tsunami Selat Sunda pada 1722, 1852 dan 1958 disebabkan oleh gempa. Kemudian, tsunami pada 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami pada 1851, 1883 dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Daryono mengimbau perlunya perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami, menyiapkan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi atau drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri. Selain itu, BMKG akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat.
Pilihan Editor: Ada Potensi Tsunami di Cilacap akibat Megathrust, BRIN Bikin Pemodelan Simulasi