TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan kemarau akibat fenomena El Nino pada tahun ini tidak akan separah tahun lalu. Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, menyebut El Nino dalam fase merangkak naik pada 2023, sedangkan pada tahun ini merangkak turun. “Tetap kemarau tapi tidak ekstrem karena El Nino melemah,” ujarnya pada Ahad, 28 Januari 2024.
Penurunan El Nino tidak akan langsung, namun perlahan setelah fase puncaknya berlalu pada bulan ini. Kondisinya berbeda dengan El Nino pada 2015 yang naik dan turun dengan tajam. “Sekarang dia nggak begitu pola permainannya, berdurasi lama jadi efeknya kadang tidak begitu terasa karena tidak menunjukkan pola ekstrem,” tutur Eddy.
Di wilayah Jawa Barat, misalnya, curah hujan pada sepuluh hari atau dasarian ketiga pada Januari 2024 diperkirakan berada pada kategori menengah. Namun, berdasarkan sifat hujannya, menurut Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Barat, curah hujan pada mayoritas atau 78 persen wilayah berkategori di bawah normal. Wilayahnya meliputi Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung Raya, Garut, dan Pangandaran.
Intensitas Curah Hujan Menurun Bulan Depan
Tim BRIN juga memperkirakan curah hujan yang meningkat pada akhir 2023 akan mulai berkurang. mengatakan fenomena El Nino masih bergerak menuju masa puncaknya pada Januari 2024. “Menurut saya, puncak musim hujan sudah terjadi pada Desember,” ujar Eddy.
Menurut dia, tetap ada hujan pada Januari-Februari 2024, namun intensitasnya sudah berkurang. Jika tidak ada El Nino, kata Hermawan, uap air yang berasal dari kawasan Siberia bebas masuk ke Indonesia. Akibat El Nino, uap air tetap masuk tapi mencari pusat tekanan rendah. “Tadinya pusat itu di pantai utara pulau Jawa, tapi karena ada El Nino ditarik ke arah timur.”
Kondisi tersebut membuat curah hujan yang semula masih di kawasan pantai utara Jawa bergeser ke kawasan dekat ekuator. Perubahan itu menyangkut pengaruh posisi gerak semu matahari yang sudah meninggalkan bumi bagian selatan pada 22 Desember 2023—menuju ke ekuator atau katulistiwa pada 21 Maret 2024. Posisi matahari itu, menurut Eddy, ikut mempengaruhi Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau wilayah bertekanan rendah.
“Uap air dari utara dan selatan bertemu di zona itu,” kata dia.
Dampaknya, curah hujan kawasan barat Indonesia yang masih basah oleh musim hujan, seperti Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan, akan berkurang. Curahnya semakin habis ke timur, lhususnya di wilayah yang berada di bawah garis ekuator termasuk Pulau Jawa. “Diduga kawasan timur Indonesia lebih dulu berkurang curah hujannya,” kata Eddy. Masa kemarau diperkirakan terjadi pada Juni hingga Agustus mendatang.
Prediksi cuaca secara umum itu didapat Eddy dari berbagai sumber, seperti International Research Institute for Climate and Society Columbia University, ASEAN Specialised Meteorological Centre's (ASMC's) di Singapura. Dia juga menggunakan Predictive Ocean Atmosphere Model for Australia (POAMA).