Padahal, Ika berpendapat kalau penerbitan karya tulis ilmiah baik di jurnal nasional maupun internasional adalah hak dan kewenangan serta independensi peneliti. Dan, dia menambahkan, equal contribution tak tertolak dalam publikasi artikel 'A Chronicle' karena para penulisnya dari multi-disiplin ilmu. "Kami juga lakukan review internal. Kami lakukan bersama-sama," kata Ika.
Terlebih, Ika juga mengaku kalau publikasi tidak dimaksudkan untuk klaim prestasi kinerja di lingkungan BRIN. Sejak awal, menurutnya, publikasi dengan biaya mandiri itu ditujukan untuk melanjutkan rencana lama membuat buku untuk KLHK. Sanksi, karenanya, dianggap tak memiliki subyek.
"Publikasi ini tidak dimaksudkan untuk kami klaim sebagai capaian target kinerja di BRIN, tapi lebih kepada menjaga kontribusi kepada kementerian yang membesarkan kami, yang kami tinggalkan karena regulasi," kata Ika.
Subarudi dari Pusat Riset Kependudukan, Organisasi Riset Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora, juga menjadi penulis utama dari artikel 'A Chronicle'. Bedanya, dia tidak mendapat sanksi dari Dewan Etik BRIN. Subarudi menyatakan keprihatinan atas kriteria penjatuhan sanksi dan pelaksanaannya yang dinilainya tak jelas.
Karena ketidakjelasan itu, Subarudi menolak membuat surat permohonan maaf dan menolak mencabut artikel yang sudah terbit. Apalagi, pemilik gelar profesor riset ini telah mengecek jumlah sitasi dari artikel 'A Chronicle' per Rabu lalu oleh Scopus yang disebutnya cukup tinggi, yaitu sekitar 45 sitasi. Artikel juga telah dilihat hampir 6 ribu kali.
"Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang valid dan benar untuk memberikan sanksi etika," kata dia.
Menurut Subarudi, BRIN seharusnya bangga karena ini baru pertama kali sejak Indonesia Merdeka seratusan penulis (semuanya Warga Negara Indonesia) menulis karya tulis ilmiah di Jurnal Internasional Terindeks Bereputasi Tinggi (Q1). Para penulis, menurut dia, seharusnya mendapat penghargaan. "Bukan malah diberikan hukuman dan sanksi etika terhadap para penulisnya."
Hingga artikel ini dibuat, TEMPO belum mendapat penjelasan dari BRIN perihal sanksi pelanggaran etika massal tersebut dan konfirmasi penyebabnya. Sambungan telepon dan isi pesan kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tak berbalas. Upaya mendapatkan keterangan dari Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi yang membawahi Direktorat Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah juga belum direspons.
Pilihan Editor: Lebih Baik Student Loan daripada Pinjol, Ini Penjelasan Ketua IA-ITB Jawa Barat