TEMPO.CO, Jakarta - Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) bersama dengan Institute for Suistanable Futures (ISF) University of Technology Sydney (UTS) telah melakukan penelitian untuk menilai kualitas mikroba pada lebih dari 500 sumber air tanah di Kota Metro, Lampung, dan Bekasi, Jawa Barat, pada tahun 2020 hingga 2022.
Dari studi ini, ditemukan bahwa 60 persen sumber air tanah yang diteliti tersebut telah tercemar bakteri Escherichia coli (E. coli). Hal ini menunjukkan air minum kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum aman dikonsumsi.
Ketua Program Studi Teknik Lingkungan FTUI, Cindy Rianti Priadi, mengatakan terdapat 36 juta orang di perkotaan menggunakan self-supply – mengadakan dan membiayai sendiri air minum dari air tanah— sebagai sumber air minum utama, dengan persentase 80 persen menggunakan sumur gali atau bor, dan 98 rumah tangga di kota menggunakan sistem sanitasi setempat.
Dengan adanya kondisi ini, menurut dia, perlu dilakukan pemeringkatan kota berdasarkan tingkat risiko patogen pada rumah tangga yang menggunakan air tanah. "Dari penelitian ini, didapatkan pemetaan kota mana yang paling utama harus diperhatikan dan ditindaklanjuti," kata Cindy melalui keterangan tertulis, Selasa, 6 Februari 2024.
Hasil penelitian ini dipaparkan oleh FTUI dan ISF UTS dalam kegiatan lokakarya yang dilaksanakan pada Rabu, 24 Januari 2024 di Cikini, Jakarta. Selain memaparkan hasil penelitian, turut diselenggarakan diskusi panel dengan topik akses terhadap penyediaan air, kualitas air tanah dan air permukaan, serta kebijakan berdasarkan fakta di lapangan.
Diskusi ini menghadirkan tiga panelis, yaitu Aisyah Nasution dari Direktorat Perumahan dan Kawasan Permukiman Bappenas, Ahmad Taufiq dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Sci Rachmat Fajar Lubis dari BRIN, dan Taat Setiawan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Aisyah Nasution mengungkapkan bahwa proyek penelitian ini dimulai tiga tahun yang lalu ketika Bappenas mendapat tugas untuk meninjau keterkaitan air tanah di Indonesia. “Di lapangan, sebagian besar masyarakat masih mengandalkan metode tradisional tanpa pipa untuk pemanfaatan air tanah. Air yang didapat dari self-supply masyarakat ini justru banyak yang telah tercemar saat kami teliti,” kata Aisyah.
Dalam acara tersebut, turut hadir Direktur Riset ISF-UTS, Prof. Juliet Willetts; 25 ahli di bidang sanitasi, air, dan kesehatan; serta para perwakilan dari World Health Organization (WHO), World Bank, Water.org, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta; Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bekasi; dan perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dari diskusi tersebut, disimpulkan bahwa transisi ke air perpipaan diperlukan guna meningkatkan kualitas air, mencegah penurunan muka air tanah, meningkatkan kesehatan dalam jangka panjang, dan mengintegrasikan distribusi air minum.
Selain itu, perlu adanya perhatian terhadap keberlanjutan air tanah sebagai cadangan, terutama saat tata ruang sering menganggap ketersediaan air sebagai aspek yang selalu ada. Tim FTUI dan ISF UTS akan melaporkan rekomendasi kebijakan tersebut kepada pemerintah supaya transisi menuju layanan air tanah yang dikelola secara aman dapat tercapai.
Dekan FTUI Heri Hermansyah mengatakan penelitian ini menunjukkan bahwa FTUI memiliki fokus dan perhatian tinggi terhadap permasalahan air tanah yang terjadi di kota-kota di Indonesia. "Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan pengembangan peluang kolaborasi mengenai transisi penyediaan air bersih bagi rumah tangga di perkotaan antara akademisi, komunitas, dan pemerintah dapat terus berjalan sehingga keberlanjutan penyediaan air bersih di Indonesia dapat semakin inklusif," kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.