TEMPO.CO, Jakarta - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan mencatat 127 konflik buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sepanjang lima tahun terakhir. Artinya, setiap pekan, dua kali konflik buaya dan manusia terjadi di Bangka Belitung. Kerusakan lingkungan hidup akibat ekspansi tambang timah disinyalir jadi penyebab maraknya konflik satwa liar dan manusia tersebut.
Polisi Kehutanan Ahli Madya BKSDA Sumatera Selatan, M. Andriansyah, mengatakan kasus konflik buaya dan manusia itu paling banyak terjadi di Bangka, yakni 36 kasus. Kasus terbanyak berikutnya di Belitung Timur (23 kasus) dan Kota Pangkalpinang (20 kasus). Sisanya tersebar di Bangka Tengah (17 kasus), Bangka Selatan (15 kasus), Bangka Barat (10 kasus), dan Belitung (6 kasus).
"Konflik antara buaya dan manusia ini telah menimbulkan masalah serius" kata Andriansyah seperti dikutip dari Antara di Pangkalpinang, Senin, 4 Maret 2024.
Andriansyah menjelaskan, konflik satwa dan masyarakat amat berbahaya. Manusia bisa kehilangan properti hingga nyawa. Sedangkan satwa liar juga banyak yang ditangkap, diluai, dan dibunuh sebagai balas dendam manusia. Awal tahun ini, beberapa kasus buaya menyerang masyarakat kembali mencuat.
"Sudah ada beberapa kasus buaya yang menyerang warga sedang mencari ikan dan menambang timah di kolong dan sungai yang mengakibatkan kematian, kehilangan anggota tubuhnya," kata Andriansyah.
Namu, menurut Andriansyah, serangan buaya bukannya tanpa sebab. Satwa liar meyerang karena berburu makanan, mempertahankan wilayah, mempertahankan sarang dan anaknya, atau salah identifikasi. "Beberapa serangan yang dilakukan buaya ini, karena merasa terpojok sehingga buaya ini melakukan serangan pada apa yang berada dalam wilayah serangannya," ujarnya.
Sebelumnya, aktivitas pertambangan timah di Bangka Belitung kembali menjadi sorotan publik dengan mencuatnya kasus korupsi tata niaga komoditas timah di konsesi PT Timah Tbk (TINS) yang tengah diusut Kejaksaan Agung. Namun, praktik penambagan yang ugal-ugalan sudah berlangsung lama di provinsi dengan julukan Bumi Serumpun Sebalai ini.
Merujuk data MapBiomas Indonesia, platform analisis tutupan dan penggunaan lahan yang dikembangkan Auriga Nusantara, lubang tambang di Bangka Belitung meluas tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir. Per 2022, luas lubang tambang di Bangka Belitung telah menembus 80 ribu hektare, lebih luas dibandingkan wilayah DKI Jakarta.