TEMPO.CO, Jakarta - Gaza tenggelam dengan cepat ke dalam krisis kemanusiaan terburuk yang pernah terjadi sepanjang memori dunia modern. Lebih dari tiga perempat dari 2,2 juta penduduk Gaza, yang separuh di antaranya adalah anak-anak, menjadi pengungsi di tanah kelahirannya sendiri. Mereka terjebak dalam satu area permukiman paling padat di dunia dengan akses kepada makanan, air bersih, atau layanan kesehatan yang sangat minim.
Sejak 7 Oktober lalu, ketika wilayahnya diserang kelompok militan Hamas hingga menewaskan lebih dari seribu warga sipil, Israel telah dengan intensif membombardir Gaza. Pasukan Israel memblok aliran bantuan kemanusiaan dan melumpuhkan infrastruktur sipil yang ada di kota itu. Dampaknya, menurut PBB, telah lebih dari 30 ribu warga Palestina tewas di Gaza--kebanyakan wanita dan anak-anak--dan lebih dari 72 ribu terluka.
Angka-angka itu baru menunjukkan permulaan dari bencana kesehatan publik di Gaza. Hal itu karena mereka yang bertahan sekalipun harus hidup dengan efek perang ini sepanjang hayatnya. Ribuan warga Palestina menjadi cacat, memiliki imunitas yang menurun, sakit mental, dan mengalami kondisi kronis lainnya. Diperkirakan, pemulihannya butuh periode satu dekade ke depan yang mana tidak satu pun organisasi bantuan global mengaku telah membuat rencana untuk itu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Program Pangan Dunia (WFP), Unicef, Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina, CARE International, dan Doctors Without Borders seluruhnya menyatakan belum memiliki rencana jangka panjang dan konkret yang berkecukupan untuk isu kesehatan masyarakat di Gaza. Beberapa lainnya malah belum memberi jawab apapun.
Kurangnya perencanaan untuk kebutuhan layanan kesehatan di Gaza satu dekade ke depan bisa jadi memang karena dahsyatnya krisis kemanusiaan saat ini. Kebanyakan orang-orang di Gaza kini hidup dalam kondisi penuh sesak tanpa layanan pengolahan dan pengangkutan sampah. Rata-rata, setiap orang hanya mendapat kurang dari satu liter air bersih per hari. Penyakit menular pun menjadi merajalela.
Sebuah survei terbatas di area penampungan pada Desember dan Januari lalu menemukan sedikitnya 90 persen balita terjangkit satu atau lebih penyakit menular. Sebanyak 70 persen terserang diare dalam dua pekan terakhirnya. "Dan itu tidak termasuk ratusan ribu orang yang berada di luar tenda-tenda penampungan," kata Margaret Harris, salah satu juru bicara WHO.
Kelaparan di Gaza
Kelaparan pun terjadi luas di Gaza. Hampir dua per tiga rumah tangga hanya makan sekali sehari, dan seperempat populasi menghadapi kelaparan dan malnutrisi ekstrem. Menurut survei yang pernah dilakukan terbatas di area penampungan pada Desember dan Januari lalu, kondisi paling parah ada di Gaza utara di mana satu dari enam anak kekurangan gizi.
Paket jatuh ke arah Gaza, setelah dijatuhkan dari pesawat militer berbendera Yordania, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas, seperti yang terlihat dari perbatasan Israel dengan Gaza di Israel selatan 7 Maret 2024. REUTERS/Amir Cohen
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan pada 7 Maret lalu saja ada 20 orang, termasuk 15 anak-anak, meninggal karena malnutrisi dan dehidrasi. Angka sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar daripada itu.
"Hal yang sulit tentang malnutrisi pada anak-anak adalah bahwa dia menyebabkan lebih banyak penyakit menjangkit," kata Tanya Haj-Hassan dari Doctors Without Borders. Menurutnya, anak-anak yang kurang gizi lebih rentan terinfeksi penyakit, membuat mereka lebih sulit lagi menyerap nutrisi. "Dan ini menjadi bola salju menuju kematian."
Baca halaman berikutnya: Cacat fisik dan ancaman gangguan kejiwaan anak-anak