TEMPO.CO, Jakarta - Dalam kurun waktu 10 tahun ini banyak sekali tercatat kasus sengketa agraria dan warga, termasuk masyarakat adat, yang menjadi korban kriminalisasi. Data sejumlah LSM lingkungan mencatat jumlah kasus dan korban konflik agraria lebih banyak di era Presiden Jokowi (2014-2024) dibandingkan dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014).
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, kondisi masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan dan perempuan semakin memburuk. Agenda-agenda seperti pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat melalui pengakuan wilayah adat, penyelesaian konflik agraria dan pemulihan lingkungan mundur jauh ke belakang.
Rukka menyebut penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang Undang Cipta Kerja dan berbagai kebijakan di sektor agraria dan sumber daya alam menjadi sinyal terbaru bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa selama satu dekade terakhir ini sejatinya tidaklah bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang telah dijamin oleh Konstitusi.
"Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan," kata Rukka dalam dalam konferensi pers di Jakarta bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, Senin, 18 Maret 2024.
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika menambahkan, penyelesaian konflik agraria dengan prinsip pemulihan dan pengakuan hak atas tanah rakyat adalah satu dari banyak pekerjaan utama reforma agraria. Alih-alih dapat menyelesaikan konflik dan menjalankan reforma agraria sesuai janji politiknya, yang terjadi malah sebaliknya. "Presiden Jokowi dengan berbagai kebijakannya justru telah membawa Indonesia ke dalam krisis agraria yang semakin akut," kata dia.
Dari data KPA, selama sembilan tahun terakhir (2015-2023), kata Dewi, sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat. Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria. Situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya.
"Di mana pada masa pemerintahan SBY, terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas 5,7 juta hektar dan korban dan terdampak sebanyak 900 ribu rumah tangga petani. Terdapat 1.354 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 553 orang mengalami kekerasan, 110 orang tertembak dan 70 orang tewas," kata Dewi.
Direktur Eksekutif WALHI Zenzi Suhadi menyebutkan. Walhi dalam kurun waktu 2014-2023 mencatat 827 pejuang lingkungan mengalami kriminalisasi, intimidasi dan bahkan kekerasan yang mengakibatkan kematian akibat konflik sumber daya alam. Dari jumlah tersebut tercatat 6 orang meninggal dunia, 145 orang ditangkap dan 28 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka, 620 lainnya luka-luka.
Menurut Zenzi, jumlah tertinggi tercatat pada tahun 2022 dimana 253 orang pejuang lingkungan di Indonesia mengalami kriminalisasi dan kekerasan. "Hadirnya ribuan konflik agraria dan kriminalisasi menandakan bahwa pemerintah enggan menyelesaikan konflik secara berkeadilan dalam kerangka reforma agraria," ujarnya.
Menurut Zenzi, upaya untuk menyelesaikan konflik agraria, memulihkan lingkungan, mengatasi krisis iklim, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, mengalami kemunduran akibat berbagai kebijakan politik yang anti agenda kerakyatan seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Mineral dan Batubara. "Jika situasi ini dibiarkan berlanjut akan semakin parah pada masa pemerintahan presiden dan wakil presiden hasil pemilu 2024. Sebab penuh dengan kecurangan dan sarat dengan agenda-agenda politik untuk melanggengkan dinasti politik Presiden Jokowi," tambahnya.