TEMPO.CO, Jakarta - Aktivitas ski terancam terhapus di banyak bagian di dunia seiring cengkeraman perubahan iklim yang menguat. Sebuah studi yang memprediksi perubahan hujan salju di masa depan menemukan 13 persen area ski di dunia bakal kehilangan seluruh tutupan salju tahunan dan alami-nya pada 2100.
Sementara, 20 persen area ski yang lain akan kehilangan lebih dari separuh jumlah hari tutupan saljunya pada periode 2071 sampai 2100. Australia diprediksi yang terparah, kehilangan sampai tiga per empat jumlah hari tutupan salju pada akhir abad ini.
Veronika Mitterwallner dari University of Bayreuth, Jerman, ketua tim yang melakukan studi itu, mengatakan hasil prediksi menunjukkan apa yang sebenarnya sudah mulai teramati. "Semakin banyak resort ski yang tutup karena kekurangan salju, dan agenda olahraga musim dingin, terutama di dataran rendah, digelar di atas lintasan putih salju yang dikelilingi lanskap hijau," kata peneliti bidang ekologi olahraga itu.
Mitterwallner dan timnya melakukan pemodelan tiga skenario emisi gas rumah kaca--rendah, medium, dan tinggi--untuk periode sisa abad ini. Hasilnya, mereka menemukan hari-hari hujan salju tahunan di tujuh area pegunungan utama untuk aktivitas ski downhill di dunia secara signifikan akan berkurang di seluruh skenario.
Di bawah skenario emisi medium, hasil studi memprediksi rata-rata jumlah hari tutupan salju tahunan akan berkurang 43 persen di Pegunungan Andes, 37 persen di Appalachians, 78 persen di pegunungan di Australia, 42 persen di Alpen Eropa, 50 persen di pegunungan di Jepang, 23 persen di Pegunungan Rocky, dan 51 persen di pegunungan di Selandia Baru sebelah selatan.
Pengunjung berjalan dekat dengan lembaran terpal besar yang menutupi gletser Presena untuk menunda pencairan salju di lereng ski di Passo del Tonale, dekat Trento, Italia 13 Juli 2020. Para konservasionis menutupi gletser Presena yang mengalami penyusutan akibat pemanasan global. REUTERS/Flavio Lo Scalzo
Satu-satunya negara ski besar yang tidak bisa dimodelkan karena data yang tidak berkecukupan adalah Cina. Hasil studi ini telah dipublikasi secara online di Jurnal PLOS ONE pada 13 Maret 2024.
Mitterwallner dkk memperingatkan, seiring ladang ski yang dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil, pengelola resort akan mengerahkan tekanan yang lebih besar untuk berpindah ke dalam ekosistem pegunungan yang terancam. Padahal, mereka menambahkan, spesies dataran tinggi sudah berada dalam tekanan akibat perubahan iklim buatan manusia.
"Tambahan lagi, aktivitas ski di dataran tinggi pegunungan bergantung kepada konstruksi infrastruktur, pemeliharaan lereng luncur, dan bentuk lain degradasi lahan, yang mana tentu memberi dampak kepada ekosistem dataran tinggi pegunungan."
Janette Lindesay dari Australian National University, Canberra, menilai skenario-skenario yang dimodelkan untuk studi itu realistis. Menurutnya, Bumi memang sudah bergerak lebih jauh ke dalam sebuah situasi di mana lingkungan menghangat secara signifikan.
Pemanasan global dinilainya masih akan terus berlanjut. "Saya kira kondisi itu sejalan untuk curah salju yang akan terus berkurang di manapun dia biasanya terjadi," kata profesor bidang klimatologi ini.
NEWSCIENTIST, JOURNALS.PLOS
Pilihan Editor: BRIN Sebut Alasan KPU Tak Pindah ke E-Voting, Lebih Memilih Sirekap