TEMPO.CO, Jakarta - Profesor dari Departemen Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mashuri, menciptakan bahan khusus untuk mendukung teknologi pengecoh radar. Pengembangan sistem antiradar secara mandiri dianggap urgen untuk meminimalisir ancaman dari negara asing.
Guru Besar ke-203 di ITS itu langsung terpacu untuk memulai penelitian seusai mendengar kabar ihwal adanya pesawat asing yang melintas di Laut Jawa pada 2010. Armada dari negara luar itu tidak terdeteksi oleh sistem radar lokal. Hal itu dianggap sebagai ancaman serius dari sisi pertahanan Indonesia.
“Karena saat itu informasi teknologi antiradar masih terbatas, kami bertekad untuk menginisiasi dan ikut meneliti bahan penyerap gelombang radar,” kata Mashuri, dikutip dari laman resmi ITS News pada 27 Maret 2024.
Bersama tim dari Laboratorium Material Maju ITS, dia mengembangkan pelapis anti radar dari material lokal. Pada dasarnya, penyerap gelombang radar dibuat dari bahan magnetik dan dielektrik seperti karbon.
“Secara fisik, permukaan antiradar dibentuk dengan banyak sudut lancip. Sehingga gelombang elektromagnetik tidak dapat terpantulkan kembali,” kata pria kelahiran 1969 tersebut.
Mashuri kemudian memakai pasir besi Lumajang dan arang bambu sebagai bahan untuk membuat lapisan antiradar. Pasir besi dari letusan Gunung Semeru disintesis untuk mengekstrak serbuk magnetiknya. Selanjutnya ada metode karbonisasi pada arang bambu untuk membentuk serbuk reduced Graphene Oxide (rGO).
Tim harus menguji ukuran penyerapan gelombang radar dengan alat bernama Vector Network Analyzer. Dengan pita frekuensi 8 hingga 18 gigahertz (GHz), perpaduan kedua material tadi terbukti mampu menyerap gelombang radar hingga minus 20 desibel (dB). Dengan hasil itu, daya serap gelombang radar diklaim mencapai lebih dari 99 persen.
Menurut Mashuri, angka yang muncul akan berbeda bila komposisi paduan antiradar dan cat yang dioleskan pada alat pertahanan tidak seimbang. Faktor lingkungan pun bisa mempengaruhi konsistensi daya serap gelombang radar.
“Apabila ingin digunakan pada kapal, tentu harus dipastikan bahwa antiradar itu memiliki sifat anti korosi,” tuturnya.
Mashuri berharap bahan pelapis itu dapat diaplikasikan dalam waktu cepat pada sektor pertahanan dan keamanan nasional. “Harapannya, kita mampu menguasai dan memiliki pemahaman yang sama dengan negara lain, serta tidak hanya bergantung dari pihak luar,”
Konsep cat pengecoh radar itu bukan barang baru di Indonesia. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan)—sekarang dilebur ke dalam Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN)—sempat mencetuskan teknologi siluman berupa cat anti radar untuk kapal pada 2019. Saat itu, Batan mengolah pasir monasit menjadi logam tanah jarang.
Teknologi cat anti deteksi radar itu mengandung smart magnet—bahan khusus yang memiliki sifat seperti gelombang elektromagnetik. Bahan itu tersusun dari kombinasi unsur logam tanah jarang dan logam transisi. Struktur magnetiknya hanya bisa diuji dengan teknologi nuklir.
ITS NEWS | ANTARA
Pilihan Editor: Kongres Drone akan Diadakan di Cina pada Mei 2024