TEMPO.CO, Jakarta - Pencabutan Permendikbud yang mengatur Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan (EWPK) lewat pemberlakuan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, mengikuti pergantian dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, mengundang perbincangan luas. Tak terkecuali di lingkungan internal Gerakan Pramuka di Tanah Air.
Salah satu pandangan datang dari Ketua Harian Pramuka Kwartir Daerah (Kwarda) Jawa Timur, Suyatno. Dia menilai meniadakan Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan malah bagus karena memisahkan antara rumah pelajar yang diatur permendikbud dan rumah pramuka yang diatur petunjuk penyelenggaraan kwartir.
"Selama ini kepala sekolah menjalankan dua tugas yakni sebagai kepsek dan kamabigus (Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan)," kata Suyatno kepada TEMPO, Senin 1 April 2024.
Karenanya, Suyatno menilai, sekolah selama ini mengalami karut-marut berpikir dan bertindak dalam menjalankan Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan. Hal lain yang terjadi, dia menambahkan, ada tarik menarik antara sekolah dan kwartir.
Bahkan, menurut mantan Wakil Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka ini, selama 10 tahun sekolah belum mampu menerapkan Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan yang benar dan baik. Akibatnya, kata dia lagi, pembina pramuka kelelahan.
"Padahal EWPK itu tanggung jawab guru (untuk model pendidikan kepramukaan aktualisasi dan blok yang bersifat wajib di sekolah) dan pembina pramuka (untuk model reguler yang bersifat sukarela di sekolah)," katanya merujuk tiga model dalam Pendidikan Kepramukaan yang berlaku sebelumnya.
Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan pun dianggapnya rancu dengan Pendidikan Karakter Profil Pelajar Pancasila, "Sehingga difokuskan saja ke Profil Pelajar Pancasila."
Pada mulanya, Suyatno menuturkan, Indonesia tertarik dengan Pendidikan Kepramukaan yang mempunyai prinsip dasar dan metode unik dan khas. Ketertarikan itu mengikuti tren dunia yang juga menggunakan pendidikan kepramukaan dalam kurikulumnya.
Dia menunjuk negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Argentina, Prancis, dan negara lainnya yang menggunakan pendidikan kepramukaan sebagai salah satu pendekatan belajar muridnya.
"Ketika EWPK dicabut, Pendidikan Kepramukaan bagi Indonesia sudah tidak dipakai lagi untuk membantu keterlaksanaan intrakurikulernya," katanya sambil menambahkan, "Kepramukaan ditempatkan sebagai ekstrakurikuler sejajar dengan kelompok krida."
Hal itu mirip dengan ekstrakurikuler krida lainnya seperti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) dan Palang Merah Remaja (PMR). "Dengan kata lain, Pramuka sejajar dengan krida yang lainnya yang bersifat pilihan dan sukarela," kata dia.
Walaupun mendukung peniadaan model Pendidikan Kepramukaan yang wajib, Suyatno berpendapat terdapat kesalahan besar menempatkannya sebagai ekstrakurikuler. Guru Besar Sastra Anak di Universitas Negeri Surabaya ini menyebut kepramukaan bukan bakat minat tetapi pendidikan nonformal yang terbuka bukan hanya untuk yang berbakat dan berminat.
Selama ini, kata Suyatno, kepramukaan mempunyai induk pengelola yakni Kwartir Nasional Gerakan Pramuka sehingga ketika menjalankan kepramukaan harus terikat dengan aturannya. Selain itu, tiap sekolah tidak boleh menyelenggarakan kepramukaan apabila sekolah itu tidak mempunyai gugus depan.
"Pengampu kepramukaan diharuskan pembina (ada ijazah), bukan guru, dan krida kepramukaan dikelola gudep dan bertanggung jawab ke kwartirnya," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Suyatno, pemberlakukan Permendikbud 12/2024 menguntungkan sekaligus memberikan beban bagi kwartir. "Oleh karena itu, gudep harus punya SOP untuk ekstrakurikuler krida kepramukaan. Dari mana SOP itu, tentu dibuat oleh kwartir."
Klarifikasi dari Anak Buah Menteri Nadiem
Terpisah, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) di Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menegaskan bahwa setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah tetap wajib menyediakan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka. Peraturan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang baru disebutnya tidak mengubah ketentuan itu, bahwa sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka.
"Sejak awal, Kemendikbudristek tidak memiliki gagasan untuk meniadakan Pramuka," kata Anindito menegaskan, dikutip dari keterangannya yang dibagikan di situs web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hari ini, Senin 1 April 2024.
Anindito menjelaskan bahwa, dalam praktiknya, Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 hanya merevisi bagian Pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan, menjadi tidak wajib. Itu pun, dia menambahkan, jika satuan pendidikan akan menyelenggarakan kegiatan perkemahan, maka tetap diperbolehkan. Keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler-nya juga bersifat sukarela.
Dia mengutip UU Nomor 12 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa gerakan pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis. "Sejalan dengan hal itu, Permendikbudristek 12/2024 mengatur bahwa keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, bersifat sukarela,” tutur Anindito.
Pilihan Editor: Daftar 5 Lokasi Tambang Timah Terkenal di Indonesia