Selain India, di kawasan Asia lain, Sony Ericsson juga telah membuka pabriknya di Cina. “Sampai saat ini, dari pabrik-pabrik tersebut masih bisa memenuhi produksi,” ujar Djunadi, di kantornya, Selasa kemarin.
Disamping masih bisa memenuhi kebutuhan, iklim yang terjadi di Indonesia masih belum tepat bagi vendor ini untuk mendirikan pabrik. “Semuanya kan harus dipertimbangkan. Jangan sampai buka pabrik, lantas cuma dua tahun lalu ditutup,” katanya.
Ia mengakui seluruh produk Sony Ericsson yang dipasarkan di Indonesia masih diimpor dari pabrik-pabriknya yang berada di beberapa negara tersebut. Tak terkecuali seluruh suku cadangnya.
Kendati demikian, Ia menjamin jika dalam kondisi normal, seluruh suku cadang dari semua produk yang dijual di Indonesia, telah tersedia. Jika ada yang tidak tersedia, itu karena proses masuknya impor barang yang kadang mengalami hambatan. “Karena semua barang kami kapalkan dari luar.”
Meski mengimpor dari luar, Djunadi menjamin praktek penjualan produk “black market” Sony Ericsson relatif kecil. Menurut dia, barang black market itu ada jika terdapat kesenjangan harga yang cukup signifikan antara produk yang dijual di luar negeri, dengan produk yang dijual di Indonesia.
Misalnya distributor di Indonesia menjual sebuah produk seharga US$ 200, sementara di Singapura, produk yang sama dijual US$ 120 saja. Hal seperti inilah yang menarik minat para pedagang black market untuk membeli barang di Singapura, lalu menjualnya di Indonesia dengan harga lebih murah dari yang ditawarkan distributor.
Namun Ia menjamin hal ini tidak terjadi pada Sony Ericsson. Menurut Djunadi, perbedaan harga produk yang ditetapkan vendor ini untuk negara-negara Asia pasifik sangat tipis. “Sehingga kemungkinan pedagang membawa barang black market menjadi sangat kecil.”
Dimas