TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang ingin mengkaji kemungkinan stop operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Suralaya demi perbaikan kualitas udara Jakarta. Disebutkan, polusi udara di Jakarta memang salah satunya bersumber dari PLTU batu bara.
"Seperti yang pernah disebutkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun lalu, setelah rapat terbatas kedua kalinya, PLTU batu bara menyumbang sekitar 34 persen polusi udara di Jakarta," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu, kepada Tempo, Kamis 15 Agustus 2024.
Karenanya, Bondan menambahkan, rencana untuk menutup PLTU Suralaya sesuai dengan rencana aksi pemerintah mengendalikan pencemaran udara. Juga sesuai dengan perintah hakim dalam putusan gugatan polusi udara yang dimenangkan hingga tingkat kasasi.
"Berdasarkan riset Greenpeace yang diperbarui lagi oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), polusi PLTU batu bara menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian kesehatan hingga Rp14,2 triliun," kata Bondan.
Berdasarkan data itu pula penutupan PLTU Suralaya dan yang lainnya di sekitaran Jakarta adalah strategi tepat sasaran jika ingin memperbaiki kualitas udara eks ibu kota negara ini. "Dan tentunya rencana penutupan PLTU ini sudah sejalan dengan rencana dan janji pemerintah dalam upaya transisi energi."
Bondan mengingatkan bahwa kebijakan penutupan PLTU Suralaya, jika benar ditepati, harus diiringi dengan peningkatan porsi energi terbarukan. Greenpeace, kata dia, tak berharap sebaliknya: solusi palsu seperti memperbolehkan penambahan PLTU batu bara untuk smelter nikel.
"Di mana data rencana PLTU industri ini, saat ini, kapasitas yang terpasang sudah 10,8 gigaWatt dan akan ada penambahan sekitar 14,4 gW," kata dia memberikan catatannya.
Kebijakan membolehkan penambahan PLTU batu bara untuk industri, Bondan menegaskan, justru bertolak belakang dengan rencana transisi energi. "Sayangnya memang itu di perbolehkan melalui Perpres Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Pembangkit Listrik Dari Sumber Energi Terbarukan."
Bondan juga mempertanyakan kebijakan pemerintah selama ini yang tidak pernah membuka akses publik untuk mendapatkan informasi perihal emisi dari PLTU batu bara yang ada. Diharapkannya, pernyataan terbaru Menko Luhut diiringi dengan perubahan kebijakan itu, yakni menjadikan data sebagai basis argumen untuk transisi energi.
"Dan menjadikan dampak kesehatan dari penggunaan PLTU batu bara sebagai pertimbangan agar Indonesia memiliki generasi emas seperti yang di harapkan nantinya," kata dia.
Sebelumnya, Menko Luhut mengatakan segera mengkaji kemungkinan segera menyuntik mati PLTU Suralaya di Cilegon, Banten. Alasannya, untuk menekan polusi udara Jakarta. "Itu kami (akan) rapatin nanti yang (PLTU) Suralaya itu. Kan sudah banyak polusinya. Dan sudah (beroperasi) 40 tahun," ujar Luhut ditemui seusai menghadiri Supply Chain & National Kapasitas Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu, 14 Agustus 2024.
Pilihan Editor: BMKG Bikin Klarifikasi Atas Pernyataan Tsunami Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu