TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang ingin mengkaji kemungkinan untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Suralaya diragukan keseriusannya jika beralasan demi kualitas udara Jakarta. Kebijakan menutup PLTU batu bara itu juga dipandang sebagai anomali antara lain karena akan segera dioperasikannya pembangkit 9 dan 10 dengan total kapasitas 2 GigaWatt di Suralaya secara komersial.
"Jadi nggak serta merta polusi udara Jakarta akan membaik juga kalau ada pembangkit yang disuntik mati," kata Juru kampanye Trend Asia, Novita Indri, kepada Tempo, Jumat 16 Agustus 2024.
Menurut Novita, anomali lain dari isi pernyataan Luhut adalah mengurangi polusi udara Jakarta dengan mendorong Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Menurutnya, seluruh rantai pasokan kendaraan listrik di Indonesia saat ini masih melepaskan karbon. "Hanya memindahkan masalah polusi udara dari Jakarta ke daerah lain," kata Novita.
Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Oktaviani, bahkan menyebut Luhut menerbitkan harapan akan solusi palsu dalam mengurangi polusi udara di Jakarta. Dia menerangkan, dari 8 unit pembangkit di PLTU Suralaya yang beroperasi saat ini, terdapat 6 unit yang ditetapkan sebagai PLTU co-firing--yang memperpanjang usia pakai PLTU. Mereka menjadi bagian dari 107 unit PLTU co-firing di seluruh Indonesia.
"Kalau menggunakan wood pellet, dibutuhkan setidaknya 2,7 juta ton, yang kalau semuanya dibakar di 6 unit PLTU maka berpotensi menghasilkan hingga 4,89 juta ton emisi karbon," kata Amalya menambahkan.
Jadi, mengurangi polusi udara dan dampak emisi karbon, menurut Amalya, seharusnya tidak hanya menutup PLTU Suralaya. Pemerintah, kata dia, mestinya menimbang kembali kebijakan soal PLTU-PLTU yang masuk program co-firing.
"Masih ada PLTU tua berumur lebih dari 30 tahun seperti PLTU Ombilin dan Paiton yang beroperasi. Dan potensi emisi karbon dari program co-firing yang akan merusak kualitas udara, seperti yang dikatakan Luhut, justru akan lebih parah," ucapnya.
Sebelumnya, Luhut menyampaikan akan segera dilakukannya kajian untuk kemungkinan penutupan operasi PLLTU Suralaya. Alasannya, untuk menekan polusi udara Jakarta. "Itu kami (akan) rapatin nanti yang (PLTU) Suralaya itu. Kan sudah banyak polusinya. Dan sudah (beroperasi) 40 tahun," ujar Luhut ditemui seusai menghadiri Supply Chain & National Kapasitas Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu 14 Agustus 2024.
PLTU Suralaya sendiri adalah kumpulan delapan pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.440 MW, terbesar di antara belasan yang ada di sekitaran Jakarta. Nyatanya, meski banyak diprotes karena menimbulkan polusi udara, pemerintah malah menambah dua pembangkit lagi dengan kapasitas 2 x 1.000 megaWatt pada Januari 2020. Dua pembangkit terbaru ini akan beroperasi pada tahun ini.
Pilihan Editor: Prediksi Cuaca Jabodetabek, BMKG Sebut Ada Kabut di Depok dan Suhu 35 Derajat di Kota Tangerang