TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil menganggap program Asian Zero Emission Community (AZEC) yang berisi dukungan Jepang untuk proyek energi di Indonesia bisa mendatangkan masalah baru. Center of Economic and Law Studies (Celios), bagian dari koalisi tersebut, menilai 24 nota kesepahaman (MoU) baru antara Indonesia dengan Jepang malah membuat transisi energi berjalan mundur.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut skema AZEC tampak seperti skenario Jepang untuk membuang limbah karbon ke negara berkembang, seperti Indonesia. "Jepang tetap bisa melakukan industrialisasi dengan membangkitkan industri yang sudah sunset, tapi untuk kuota karbon ditanggung negara berkembang," katanya kepada Tempo, Selasa, 20 Agustus 2024.
Celois dan lembaga sipil lain, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), serta Oil Change International, sempat menggelar aksi simbolik penyerahan petisi penolakan terhadap AZEC kepada pemerintah Jepang. Aksi itu digelar bersamaan dengan momentum ministrial meeting AZEC di Indonesia.
AZEC adalah platform kerja sama untuk mendorong pencapaian emisi nol bersih di kawasan, di mana Indonesia merupakan co-initiator bersama dengan Jepang. Negara peserta AZEC selain Indonesia dan Jepang adalah Australia, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AZEC sebeumnya telah menghasilkan Leaders’ Joint Statement yang berisi komitmen untuk memenuhi Paris Agreement, serta beberapa tujuan lainya.
Dalam aksi penolakan di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024, AZEC disebut akan mendatangkan masalah bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Pasalnya, inisiatif ini tidak memberikan transparansi, keterbukaan informasi, dan minim partisipasi publik. Ada juga keluhan soal potensi perpanjangan penggunaan energi fosil, perampasan lahan, deforestasi, sampai risiko jebakan utang.
Dari KTT AZEC, Bhima menyoroti keinginan Jepang untuk mendukung pengembangan pembangkit listrik nuklir di Indonesia. “Ada inkonsistensi Jepang, mereka ingin agar transisi energi berjalan ke arah yang salah. Bukan makin cepat, tapi mundur ke belakang," ujar dia.
Menurut Bhima, Jepang tidak lagi mengembangkan nuklir sebagai pembangkit listrik, terutama sejak tragedi kebocoran pembangkit listrik Fukushima akibat tsunami. Anehnya, Negara Matahari Terbit masih mendorong skema itu untuk negara asia lainnya.
Bhima juga menyoroti komitmen AZEC untuk menggunakan pembangkit listrik co-firing berbasis biomassa atau pelet kayu. Dia menengarai dorongan itu demi kepentingan bisnis perusahaan Jepang semata, bukan untuk transisi energi atau dekarbonisasi. Skema biomassa tergolong mahal, terutama untuk transportasi dari hutan tanaman energi hingga ke fasilitas pembangkit listrik.
Jepang adalah negara terbesar kedua setelah Korea Selatan dalam hal impor biomassa. “Jadi keterlibatan Jepang untuk biomassa perlu dipertanyakan, untuk transisi energi atau menciptakan deforestasi semata,” tutur Bhima.
Pilihan Editor: Bumi Nanti akan Punya Waktu 25 Jam Sehari, Ini Penjelasan Ilmiahnya