TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah kelas menengah terus menurun secara signifikan di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan signifikan pada proporsi kelas menengah dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Terdapat tren penurunan pada klasifikasi kelas menengah, seperti miskin, rentan miskin, dan aspiring middle class (AMC).
Pakar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Rossanto Dwi Handoyo mengatakan bahwa Faktor utama yang mempengaruhi penurunan ini adalah pandemi Covid-19. Rossanto berpendapat bahwa Covid-19 telah melumpuhkan sejumlah sektor, terutama sektor perdagangan internasional. Penurunan permintaan global ini memaksa perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau memotong jam kerja, yang berdampak langsung pada pendapatan karyawan.
“Daya saing perusahaan lokal menurun akibat persaingan dengan negara lain yang lebih kompetitif. Selain itu, pola konsumsi yang meningkat, terutama akses mudah ke pinjaman online, judi online, dan produk gaya hidup murah, semakin memperparah kondisi ini," ucap Rossanto melalui keterangan tertulis, Jumat, 13 September 2024.
Rossanto mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada konsumsi. Sektor konsumsi menyumbang sekitar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, menurunnya daya konsumsi kelas menengah berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi. “Konsumsi adalah bantalan perekonomian kita. Jika kelas menengah terus menurun, pertumbuhan ekonomi akan melambat," katanya.
Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terjadi deflasi selama empat bulan berturut-turut dari Mei hingga Agustus. Rossanto menjelaskan, meski deflasi biasanya dianggap positif karena menunjukkan penurunan harga, namun dalam konteks ini justru menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat. "Selama 20 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah mengalami deflasi berturut-turut. Ini tanda daya beli masyarakat melemah, dan kita harus waspada," ucapnya.
Penurunan kelas menengah juga berdampak langsung pada sektor perdagangan. Rossanto berpendapat itu terjadi karena perang dagang Amerika Serikat dan Cina. Perang dagang itu membuat Cina mencari pasar baru, salah satunya Indonesia. “Hal ini tentunya memukul daya saing produk lokal. Akibatnya banyak pedagang lokal yang harus mengurangi jumlah karyawan, yang kemudian berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat,” ucapnya.
Tidak hanya perusahaan besar, menurut Rossanto, sektor usaha kecil dan menengah juga menghadapi tantangan serupa. "Banyak yang terpaksa bekerja di sektor informal atau membuka usaha kecil, seperti UMKM. Namun, persaingan di sektor ini juga sangat ketat. Pendapatan yang diperoleh sering kali jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sehingga banyak yang berisiko turun kelas," kata Rossanto.
Solusi Kebijakan Pemerintah
Dalam menghadapi tantangan ini, Rossanto menyarankan agar pemerintah mengambil langkah melalui kebijakan moneter dan fiskal. Menurutnya, Bank Indonesia dan OJK harus mendukung lebih banyak masyarakat untuk membuka lapangan kerja, bukan sekadar mencari kerja.
“Kebijakan seperti pemberian subsidi bunga bagi UMKM sangat penting untuk mendorong munculnya usaha baru. Sementara dari sisi fiskal, subsidi bunga perumahan dan bantuan biaya pendidikan dapat menjadi solusi untuk menjaga kelas menengah agar tidak terpuruk," katanya.
Pilihan Editor: Jika Rusak, Servis Layar Huawei Mate XT Ultimate Bisa Seharga iPhone 16 Pro Max