TEMPO.CO, Jakarta - Riset terbaru Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi dan Sawit Watch menemukan bahwa daya tampung lingkungan batas atas atau ‘cap’ perkebunan sawit di Indonesia hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare. Temuan besaran batas atas ini menjadi krusial, mengingat industri sawit di Indonesia yang amat ekspansif dalam dua dekade terakhir hingga daya dukung daya dukung ekosistem yang ada terus tergerus oleh alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia sejak 2019, luas perkebunan kelapa sawit yang terdata oleh Kementerian Pertanian adalah 16,83 juta hektare. Tapi, berdasarkan data dari Badan Informasi dan Geospasial (BIG) hingga akhir 2023 lalu, luas lahan sawit sudah menjadi 17,3 juta hektare, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. BIG telah melakukan pemutakhiran peta tutupan sawit skala 1:50.000 tersebut namun belum terintegrasi dalam Kebijakan Satu Peta (KSP).
Wakil Direktur MADANI Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto menuturkan, jika pertumbuhan industri sawit dibiarkan tanpa pengendalian, hasil perhitungan ekonomi dan ekologi menunjukkan potensi kerugian jangka panjang yang besar. Hal itu karena kerusakan lingkungan akan mempengaruhi hasil produktivitas sawit. Pada akhirnya, kata Giorgio, mengancam ketahanan ekonomi jangka panjang industri sawit dan bahkan ekonomi nasional.
"Karena dampak sosial dan ekologis yang tidak terkendali akan menciptakan beban besar bagi negara," katanya dikutip dari keterangan tertulis yang dibagikan koalisi, Selasa 1 Oktober 2024.
Giorgio menerangkan latar belakang dari riset terbaru koalisi adalah bahwa tren pengembangan sawit di Indonesia selama ini tidak berfokus pada peningkatan produktivitas sawit (intensifikasi) tentang bagaimana mengubah sawit menjadi lebih baik, tidak merusak, dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa melakukan perluasan. Tetapi lebih ke perluasan perkebunan sawit (ekstensifikasi). Karena itu, pertanyaan yang muncul, kata dia, Berapa kemampuan lahan jika dikembangkan sawit.
Hasil riset, lanjut Giorgio, agar keberadaan atau pengembangan perkebunan sawit tidak menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dalam jangka panjang, tapi tetap dapat memenuhi kebutuhan. Dalam riset tersebut, dipaparkannya, perhitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dilakukan dengan menghitung kebutuhan manusia di suatu pulau dan bagaimana kesesuaian fisik pulau tersebut jika ditanami sawit menggunakan pemodelan kalkulator jejak ekologis yang terdiri dari 14 variabel pembatas.
Ke-14 variabel itu terdiri dari: ketersediaan air, kesatuan hidrologis gambut (KHG), karst, mangrove, kawasan konservasi dan hutan lindung, hutan alam, resapan air, kelerengan kurang 30 persen, rawan bencana, habitat satwa dilindungi, key biodiversity area, jasa lingkungan hidup tinggi, dan keberadaan penduduk.
Peneliti Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi, menyampaikan teknis metode riset ini diawali dengan menghitung luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dari berbagai sektor. Setelah itu, dilakukan penilaian kesesuaian fisik lahan untuk delapan jenis penutupan atau penggunaan lahan berdasarkan sejumlah parameter fisik.
“Hasil kesesuaian lahan ini kemudian di-overlay dengan variabel pembatas sehingga menghasilkan luas lahan yang tidak bisa dikembangkan lagi untuk perkebunan sawit,” kata Riezcy.
Jika melihat lebih detail, Riezcy menuturkan, sebesar 34 persen tutupan sawit pada 2022 berada di luar kesesuaian lahan untuk sawit. Dari bagian itu, paling banyak berada di Pulau Kalimantan yang mencapai 50 persen dari tutupan sawit eksisting.
“Selain itu ditemukan 64 persen cap sawit berada di area penting yang masuk dalam variabel pembatas, paling banyak juga ditemukan di Kalimantan yang mencapai 80 persen dari tutupan sawit yang ada di sana,” ucap Riezcy.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menambahkan, penting melihat ‘cap’ sawit dalam kerangka perbaikan, yakni bagaimana agar ini dapat mendukung industri sawit akan semakin baik dan bermanfaat serta semakin strategis. Dengan adanya batas atas ini, ujarnya, koalisi ingin mengatakan bahwa pengembangan sawit tidak boleh melebihi batas tersebut, jika melewati maka akan ada konsekuensi yang harus diterima terutama dari berbagai sektor karena telah melampaui kemampuan lahan.
“Kami berharap pemerintahan ke depan dapat mengadopsi konsep ‘cap’ sawit ini menjadi sebuah kerangka regulasi tertentu yang titik beratnya agar tidak ada perluasan lahan sawit,” kata Rambo.
Pilihan Editor: Sama Seperti yang Digunakan Iran untuk Serang Israel, Ini 6 Rudal Hipersonik Paling Berbahaya Saat Ini