TEMPO.CO, Jakarta - Warga Korea Selatan mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah pesan spam yang diterima melalui ponsel mereka. Melansir The Korea Times, pesan spam ini sering kali menyamar sebagai tips investasi dan layanan kencan online.
Menurut laporan terbaru dari Komisi Komunikasi Korea, Badan Internet dan Keamanan Korea (KISA), serta Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan, sebanyak 4,128 miliar pesan teks spam dikirim di Korea pada tahun lalu, meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 1,21 miliar kasus pada tahun 2019.
Lonjakan ini juga terlihat pada laporan smishing, yaitu penipuan yang menggunakan pesan teks untuk menipu korban agar memberikan informasi sensitif atau mengirimkan uang. KISA mencatat 1.673 kasus smishing tahun lalu, delapan kali lipat lebih banyak dibandingkan empat tahun sebelumnya, dengan kerugian mencapai 14,4 miliar won.
Pemerintah menduga bahwa jumlah perusahaan yang mengirimkan pesan teks dalam jumlah besar telah meningkat sejak 2020, serta banyak spam yang dikirim menggunakan informasi pribadi yang dicuri. Meskipun otoritas terkait, termasuk Kementerian Sains dan ICT, bekerja sama dengan kepolisian dan perusahaan telekomunikasi untuk memfilter pesan-pesan penipuan, tantangan tetap ada karena tidak semua pesan dapat disaring.
Dalam konteks ini, penipuan romansa juga semakin berkembang. Penipuan ini biasanya diawali dengan pesan dari ID Naver Line yang mengajak untuk berteman. Mereka akan terlebih dahulu membangun kedekatan dengan korban.
“Dari 25 juta laporan spam yang diterima pada bulan September, sekitar 800 ribu adalah pesan teks dalam bentuk penipuan romansa,” kata Jung Won-ki, kepala tim perlindungan pengguna digital KISA.
Para ahli memperingatkan bahwa belum ada regulasi hukum yang mengatur kejahatan semacam itu sampai pencurian nyata terjadi. “Kami tidak dapat menghukum mereka atas penipuan di bawah hukum pidana hanya karena mereka mengirim pesan teks yang mengatakan, ‘Mari berteman,’” kata Jung. “Dari perspektif pengguna, yang terpenting adalah tidak menanggapi.”
Pilihan Editor: ICEL: Kini Hanya Polri yang Belum Miliki Regulasi Anti-SLAPP