TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo menyatakan Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan anggaran dari pemanfaatan serapan karbon (kredit karbon).
Ia menyebut jumlah kredit karbon Indonesia mencapai 577 juta ton. "Sudah diverifikasi oleh UN, kita bisa menawarkan kepada dunia kurang lebih 577 juta ton CO2. Itu untuk tiga tahun," kata Hashim di Kantor Kementerian Kehutanan Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2024.
Hashim menyebut, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melakukan verifikasi penyerapan karbon secara nasional pada tahun 2021 hingga 2023 bersama dengan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Hasilnya, potensi serapan karbon Indonesia mencapai 600 juta ton atau sekitar 200 juta ton per tahunnya.
Hashim mengkalkulasi nilai kredit karbon nasional tersebut dapat mencapai Rp 190 triliun dengan nilai jual karbon US$ 10 per ton. "Ini yang saya sebutkan potensi penerimaan negara tambahan di luar APBN. Itu kurang lebih Rp 190 triliun," ucap Hashim.
Sebelumnya, Hashim menyebutkan dana itu rencananya akan digunakan untuk membiayai program quick wins Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis dan Pembangunan 3 Juta Rumah. "Saya sangat optimistis kita ada dana. Bahkan ada dana yang belum dihitung dan akan masuk ke APBN kita. So, saya yakin program makan bergizi dan perumahan akan dilaksanakan,” ucapnya.
Adik Presiden Prabowo Subianto itu mengatakan pemerintah akan menawarkan kredit karbon ini kepada negara-negara penghasil emisi, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Abu Dhabi.
Labih lanjut, Hashim mengatakan, Prabowo telah menunjuknya untuk menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Conference of the Praties (COP29) di Baku, Azerbaijan yang akan dilaksanakan pada November mendatang. Konferensi ini, kata Hashim, membahas mengenai perubahan iklim.
Terkait dana, ia akan menawarkan kredit karbon ini pada negara-negara pembeli potensial. “Karena memang dari dulu sudah 10 hingga 15 tahun saya peduli dengan hal ini,” kata dia.
Pilihan Editor: Peniadaan Jurusan IPA-IPS di SMA, Anggota Dewan Pendidikan Jatim: Masalahnya Ada di Guru