TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi masyarakat sipil menyerukan urgensi perlindungan terhadap alam dan keanekaragaman hayati Indonesia yang semakin terancam oleh ekspansi tambang nikel. Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, Timer Manurung, mengatakan produksi nikel perlu dibatasi. Deposit hasil tambang ini sudah mencapai luasan 3,1 juta hektare di Indonesia, dan terkonsentrasi di wilayah Sulawesi, Maluku, serta Papua.
“Penting bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan ‘No Go Zone’ di area-area yang memiliki peran penting pada keanekaragaman hayati dan penanggulangan perubahan iklim,” ujar Timer melalui keterangan tertulis, Jumat, 1 November 2024.
Menurut Timer, hampir 80 persen atau 2,5 juta hektare deposit nikel yang terkonsentrasi di Indonesia Timur berada di wilayah yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati. Area deposit itu juga bertindihan dengan wilayah adat. Merujuk penelitian Auriga, ada setidaknya 18 spesies ikonik yang terancam karena penambahan jumlah tambang nikel.
Informasi tersebut disampaikan Timer dalam forum high-level segment yang menjadi bagian dari agenda Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 atau Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP CBD ke-16) di Cali, Kolombia. Isu tambang mineral menjadi diskursus hangat dalam pertemuan tersebut, mengingat potensi ancamannya yang tinggi terhadap ekosistem. Dalam forum COP16 itu, organisasi sipil juga menyerukan kekhawatiran ihwal ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di negara-negara produsen.
Saat ini, kata Timer, terdapat hampir satu juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia. Sekitar 0,64 juta hektare atau 66 persen dari luas konsesi tersebut merupakan tutupan hutan alam. Wilayah konsesi itu meluas seiring meningkatkan kebutuhan pasokan komponen baterai kendaraan listrik. “Dengan tujuan ekspor utama ke Tiongkok,” tuturnya.
Timer mendesak penetapan kuota ekspansi tambang nikel, bisa dengan skema ‘No Go Zone’, untuk mencegah kerusakan ekosistem yang lebih buruk. Menurut dia, daerah yang tidak bisa ditambang lagi perlu dihitung berdasarkan ketersediaan nikel di Indonesia.
Pemerintah juga dianjurkan menghitung kebutuhan nikel yang masuk akal, durasi yang dibutuhkan Indonesia untuk memperluas pertambangan nikel, serta ancaman ekspansi tambang tersebut terhadap ekosistem dan biodiversitas yang akan terjadi.
Senada dengan Auriga, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, mengatakan eksistensi tambang nikel juga mengancam kehidupan masyarakat adat, contohnya pada masyarakat Taa di Morowali, Sulawesi Tengah. Warga adat yang juga disebut Wana itu menggunakan kayu bitti (Vitex cofassus), damar (Agathis alba), dan kumea (Manilkara celebica) dari alam mereka selama berabad-abad. Kini wilayah mereka terancam keberadaan tambang nikel yang makin masif.
“Karenanya, perlu pembatasan produksi nikel sesuai dengan daya dukung energi terbarukan agar target aksi iklim dan keragaman hayati dapat tercapai,” kata Pius.
Pilihan Editor: Cuaca Panas Pekan Terakhir Oktober, Suhu Udara Kembali Tembus 38 Derajat