TEMPO.CO, Jakarta - Luas wilayah konservasi di darat dan laut tumbuh kurang dari 0,5 persen saja sejak 2020. Pertumbuhan itu membuat target menjaga keanekaragaman hayati dengan memproteksi 30 persen Planet Bumi per 2030 terlalu berat.
"Beberapa progres memang sudah dibuat dalam empat tahun terakhir, tapi tidak cukup membuat kita beranjak jauh atau cepat," kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), dalam sebuah pernyataan tertulis untuk media pada akhir Oktober.
Pada 2022 lalu, dalam agenda konferensi para pihak atau COP15 Konvensi PBB tentang Biodiversitas, negara-negara di dunia setuju untuk menghentikan laju hilangnya biodiversitas. Mereka berjanji membuatkan perlindungan resmi untuk 30 persen daratan dan perairan daratan dan 30 persen lautan pada akhir dekade ini.
Angka '30 by 30' itu sejatinya adalah perlindungan minimal yang dibutuhkan untuk menghindari kepunahan dalam ekosistem di dunia. Angka kebutuhan sesungguhnya adalah melipatgandakan luas wilayah daratan yang harus dilindungi dan melipattigakan target kawasan konservasi di laut tersebut.
Bersamaan dengan agenda COP16 Kolombia yang berlangsung 21 Oktober - 1 November, sebuah data terbaru mempertegas kalau dunia terseok di belakang target '30 by 30' tersebut. UNEP dan International Union for Conservation of Nature menghitung, saat ini baru sebanyak 17,6 persen daratan dan perairan di daratan serta 8,4 persen lautan yang sudah berstatus sebagai kawasan konservasi.
Kekurangan 13 persen luasan konservasi di daratan setara gabungan luas negara Brasil dan Australia. Sedang 12 persen yang masih dibutuhkan di laut setara luas Samudera Hindia.
Ada banyak isu selain total kebutuhan luas kawasan konservasi. Misalnya, sepertiga dari wilayah di Bumi yang justru paling penting biodiversitasnya dijaga malah tak memiliki perlidungan yang formal. Lalu, beberapa tipe ekosistem tak masuk dalam daftar wilayah yang sudah berstatus dilindungi. Tipe ekosistem itu terutama laut dalam.
Isu lainnya adalah bahwa sedikit saja wilayah yang sudah terproteksi terkoneksi satu sama lain, dan hanya sedikit di antaranya yang sudah dikaji apakah perlindungan berfungsi dengan baik.
"Ini semua menyajikan secara telanjang realitas dari global yang tak bergerak. Untuk memperbaikinya, pemerintahan negara-negara perlu memperlakukan krisis biodiversitas sebagai kedaruratan seperti yang memang seharusnya," kata Brian O'Donnell dari kelompok pembela lingkungan Campaign for Nature.
Laporan lain di pertemuan COP16 Kolombia telah pula menyorot kondisi mengenaskan dari keanekaragaman hayati. Sebagai contoh, kajian global pertama dari biodiversitas tumbuhan menemukan 38 persen spesies sedang terancam punah. COP16 yang baru saja berakhir diharapkan pula menghasilkan komitmen baru soal wilayah konservasi dan pendanaan untuk konservasi.
NEW SCIENTIST
Pilihan Editor: PVMBG Catat Lonjakan Aktivitas Gempa Gunung Lamongan 1 November